Sudah
enam belas hari kuganti langit-langit hijau kamar menjadi sebuah bangunan
berlantai dua yang penuh sesak bersama barisan orang-orang tak berdaya.
Orang-orang itu seperti tengah berdemonstrasi dengan takdir. Mengaduh,
menjerit, menangis, mengeluh, dan juga pasrah. Aku berjibaku bersama
orang-orang itu. Melihat sejuta asa dan rasa. Merasakan beribu warna kehidupan.
Aku seperti tenggelam bersama mereka. Kami seperti sekumpulan hamba-hamba yang
tengah bergumul melawan keadaan antara sebuah cobaan, kasih sayang Tuhan, atau
teguran karena kelalaian kami pada kehidupan.
Kehidupan
seperti tengah menunjukkan wujudnya padaku. Ia seakan berbisik pada
hari-hariku, bahwa begitu pentingnya arti sebuah kehidupan ini. Meski hanya
sebatas merasakan silaunya matahari yang menerobos melalui celah dedaunan atau
merasakan kaki yang terlanjur basah oleh rumput yang sudah bermandikan embun
sejak fajar belum menyingsing.
Ku
akui aku bukanlah Nabi dengan energi kesabaran di ambang batas manusia biasa.
Terkadang aku rapuh laksana dedaunan kering yang tak berdaya melawan kemarau.
aku pun dapat tumbang dihantam badai. Bersama sejuta hantaman petir dan badai,
segalanya kusandarkan kekuatanku pada-Mu ya Allah. Karena hanya Kaulah
satu-satunya tempat ku berteduh dari ganasnya kehidupan ini. Tegakkan kepalaku
ya Allah. Seka air mataku dengan rahmatMu. Yakinkan aku bahwa hanya Kaulah yang
abadi di dunia ini. Tak ada apapun yang abadi di dunia, termasuk segala
kesenangan dan kesedihan di dunia ini.