Proses
penyelesaian perkara adalah tahap akhir dalam rangkaian pemeriksaan perkara di
pengadilan, khususnya pengadilan tingkat pertama. Namun meski begitu masih
terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang berkepentingan
untuk kembali mengajukan perkara tersebut melalui upaya hukum banding, kasasi
atau bahkan Peninjauan Kembali. Hal itu ditempuh mengingat salah satu pihak
tidak merasa puas atas keputusan pengadilan.
Di
dalam proses perkara tersebut, Islam mengenal beberapa prinsip dalam memproses
suatu perkara, proses itu adalah:
1.
Prinsip
keobjektifan dalam menangani persengketaan.
Prinsip ini dapat kita lihat dari
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi. Bunyi hadis
tersebut ialah:
وعن
علي رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا تقاضى اليك رجلان
فلا تقضى للاول حتى تسمع كلام الاخر ، فسوف تدري كيف تقضى قال على : فما زلت قاضيا
بعد . رواه احمد وابوداود والترمذى وحسنه ، وقواه ابن الماديني ، وصححه ابن حبان .
“Dari Ali Ra. Bahwa Rasulullah Saw
bersabda: apabila dua orang meminta keputusan hukum kepadamu, maka janganlah
memutuskan keputusan untuk orang pertama sebelum engkau mendengar keterangan
orang kedua agar engkau mengetahui bagaimana harus memutuskan hukum” Ali berkata:
setelah itu aku selalu menjadi hakim yang baik.” HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi. Hadis
hasan menurut Tirmidzi, dikuatkan oleh Ibnu al-Madiny, dan dinilai shahih oleh
Ibnu Hibban.[1]
Dalam
hadis tersebut menunjukkan bahwa ketika seorang yang diminta memutus perkara,
atau lebih tepatnya hakim misalnya. Maka ia haruslah mendengarkan keterangan
dari kedua belah pihak yang bersengketa. Hal itu ditujukan agar keterangan
mengenai sengketa tersebut menjadi seimbang sehingga hakim dapat menilai
kebenaran itu dan dapat meminimalisir kesalahan.
Di
dalam hadis lain dikatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
وعن
عبد الله بن زبير قال قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان الخضمين يقعدان بين
يدي الحاكم رواه ابوداود وصححه الحاكم
Abdullah ibnu Zubair berkata:
Rasulullah Saw bersabda: memutuskan dua orang yang sedang bersengketa harus
duduk (untuk memutuskan mereka) di depan hakim”. HR Abu Daud dan dinilai shahih menurut
Hakim.
Salah
satu peryataan Umar mengatakan bahwa jika seorang hakim berlaku adil terhadap
orang yang bersengketa maka itu menunjukkan keadilannya dalam pemerintahan.
Apabila sekali saja ia menunjukkan sikap hormat kepada salah seorang yang
bertikai, maka itu menandakan sikap aniaya dan kezhalimannya.
Terdapat
cerita dalam sejarah kuno yang menceritakan bahwa seorang hakim yang adil dari
Bani Israil berwasiat sebelum meninggal agar kuburannya dibongkar setelah
beberapa tahun. Kemudian dilihat apakah tubuhnya telah rusak atukah belum. Ia
berkata: “saya tidak pernah sekalipun berlaku curang dalam memutuskan suatu
perkara kecuali pernah suatu hari datang dua orang yang bersengketa yang salah
satunya adalah sahabat saya, sehingga saya lebih banyak memperhatikan dan
mendengarkan aduannya”.
Kemudian
orang-orang melaksanakan wasiatnya dan
membongkar kuburannya dan ditemukan jasad hakim itu dalam keadaan telinga yang
hancur namun tubuhnya tetap utuh. Berdasarkan cerita tersebut dapat diambil
sebuah pelajaran bahwa sikap berat sebelah kepada salah seorang yang
bersengketa mengandung dua bahaya. Pertama, kerakusannya bahwa kekuasaanya
adalah miliknya yang memperkuat hati dan jiwanya. Kedua, salah seorang yang
bertikai akan terputus harapan untuk mendapat keadilan sehingga melemahkan hati
dan jiwanya.[2]
Hadis
tersebut mengindikasikan bahwa kedua belah pihak yang sedang bersengketa harus
didengarkan keterangannya di depan hakim atau orang yang berwenang memutuskan
suatu perkara. Karena dengan mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak
tersebut diharapkan seorang hakim dapat mengidentifikasi dengan kemampuannya
dalam menganalisa kasus hukum disamping diperlukannya alat bukti untuk
menyelesaikan suatu perkara.
2.
Prinsip
ketepatan dalam memutuskan suatu hukuman.
Prinsip ketepatan tersebut dapat
dilihat dalam sebuah hadis berikut:
وعن
عمر ابن العاص رضى الله عنه انه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : اذا حكم
الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران ، واذا حكم فاجتهد ثم اخطا فله اجرا ، متفق عليه
Dari Amr ibn al-‘Ash r.a bahwa ia
mendengar Rasulullah Saw bersabda: “ apabila seorang hakim menghukum dan dengan
kesungguhannya ia memperoleh kebenaran, maka baginya dua pahala, apabila ia
menghukum dan dengan kesungguhannya ia salah, maka baginya satu pahala.” HR Muttafaq Alaih
3.
Prinsip
tanpa berbelit-belit
Warga negara biasa di
Indonesia sering kali merasa frustrasi ketika berusaha mendapatkan keadilan,
karena ruwetnya proses hukum yang berlaku di sini. Meskipun vonis sudah
ditetapkan, para pihak masih bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi
sehingga putusan hukum harus tertunda. Ketika pengadilan tinggi sudah mengambil
keputusan, para pihak masih bisa lagi mengajukan kasasi. Maka putusan hukum
kembali tertunda. Akibatnya, dalam sistem peradilan warisan penjajah Belanda
ini ribuan kasus tertunda dan mengantri di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung, sementara kasus-kasus baru terus bertambah setiap hari. Realitas semacam
ini hanya akan mendorong para pelaku kejahatan, yang mengerti seluk-beluk
sistem peradilan, mengulur-ulur putusan hukum. Sebab, sekalipun vonis sudah
dijatuhkan, mereka masih bisa mengajukan banding dan kasasi, sehingga keputusan
hukum bisa ditunda. Wajar bila dalam kasus sengketa tanah, misalnya, bisa
memakan waktu lebih dari 20 tahun untuk sampai keputusan di tingkat kasasi MA.
Itupun masih ada lagi upaya hukum yang disebut PK atau Peninjauan Kembali.
Daulah Khilafah akan
mengakhiri sistem yang berbelit-belit dan bertele-tele ini. Dalam sistem
peradilan Islam, putusan hukum yang dibuat oleh qadhi atau hakim adalah putusan
yang final. Tidak ada lagi mahkamah banding. Jadi, tidak ada satu pun pihak
yang dapat merubah putusan qadhi itu. Kecuali jika vonis tersebut bertentangan
dengan syariah Islam yang pasti (qath’iy), yang tidak ada ikhtilaf di dalamnya;
atau ketika hakim mengabaikan fakta yang pasti, tanpa alasan yang jelas. Bila
terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti itu, maka kasus tersebut bisa dibawa
ke Mahkamah Madzalim. Dengan cara inilah, publik bisa mendapatkan keadilan
dalam waktu yang singkat, dan tidak membebani pengadilan dengan antrian kasus
yang sangat panjang. Para pelaku kejahatan pun tidak bisa lepas dari rasa
takut, karena vonis yang ditetapkan pengadilan akan segera dieksekusi.[3]
Karena jika seorang hakim memutuskan
perkara secara keliru, padahal ia tahu jika sebenarnya keputusan itu tidak
tepat atau seorang hakim yang tidak mampu memutuskan perkara sedangkan ia tidak
mau untuk mengakui ketidak mampuannya, maka terdapat ancaman baginya.lain
halnya dengan seorang hakim yang memuts perkara secara bijak dan adil sesuai
dengan apa yang ia ketahui atas status hukum tersebut, maka ia memperoleh
surga. Rasulullah Saw bersabda:
عن
بريدة رضي الله عنه تعالى عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : القضاة
ثلاثة : اثنان فى النار ، وواحد فى الجنة.
رجل عرف الحق فقضى به فهو فى الجنة ، ورجل عرف الحق فلم يقض به وجار فى الحكم
فهو فى النار ، ورجل لم يعرف الحق فقضى للناس على جهل فهو فى النار رواه الاربعة ، وصححه الحاكم
Dari Buraidah r.a bahwa Rasulullah Saw
bersabda: “bahwa hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di
surge. Seorang yang tahu kebenaran, dan ia memutuskan dengannya, maka ia di
surga; seseorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka
ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk
masyarkat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka” HR Imam empat. Hadis shahih menurut
hakim.
Prinsip-prinsip
dalam mengadili perkara-perkara tersebut dapat tercermin dari surat Umar Ibn
al-Khaththab kepada Abu Musa al-Ay’ari yang berbunyi:
Sesungguhnya
keputusan hakim bersifat tetap dan menjadi ketentuan yang harus diikuti. Karena
itu pahamilah semua perkara yang diajukan kepadamu. Sesungguhnya tidak ada
gunanya membicarakan kebenaran tanpa adanya pelaksanaan. Jadilah panutan dalam
jabatanmu dan keputusanmu, sehingga orang yang terhormat tidak menginginkan
aniayamu dan orang yang lemah tidak terputus harapan terhadap keadilanmu.
Pembuktian
itu diwajibkan bagi tergugat dan sumpah diwajibkan bagi orang (pihak) yang
menolaknya. Perjanjian damai dapat dilakukan oleh kaum muslimin, kecuali
perjanjian yang menghalalkan sesuatu yang diharamkan atau mengharamkan sesuatu
yang dihalalkan. Jika ada orang yang mendakwakan suatu hak yang tidak ada tempatnya,
atau suatu bukti, maka berilah tempo kepadanya sampai ia dapat membuktikan
dakwaannya. Jika ia telah menjelaskannya, maka haknya dapat diberikan. Tapi
jika ia tidak mampu, maka kamu dapat memberikan keputusanmu. Sebab itulah yang
paling tepat untuk dilakukan terhadap hal-hal yang belum diketahui.
Janganlah kamu sekali-kali merasa terhalangi
oleh keputusanmu yang telah kamu tetapkan hari ini. Kamu dapat merevisi
keputusan yang telah kamu ambil apabila kamu dapat petunjuk baru yang dapat
membawamu pada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan.
Ia tidak dapat dibatalkan dengan apapun, sebab kembali pada kebenaran itu
adalah lebih baik daripada terus menerus dan bergelimang dalam kebathilan
(kesesatan).
Ketahuilah
bahwa kaum muslimin itu sebagiannya adalah adil terhadap sebagian yang lain
kecuali orang yang pernah memberikan kesaksian palsu, orang yang pernah
dijatuhi hukuman had, atau orang yang diduga bersekongkol dengan kerabatnya,
sesunguhnya Allah Tabaraka wa ta’ala mengetahui rahasia para hamban-Nya dan
menghindarkan hukuman atas mereka kecuali dengan adanya bukti-bukti dan
sumpah-sumpah. Kemudian pahamilah maslah yang berkaitan denganmu, yang
merupakan sesuatu yang datang (terjadi) kepadamu, yang tidak ada dalilnya dalam
Al-Qur’an dan sunnah. Lalu qiyaskanlah permasalahan tersebut dan kenalilah
perumpamaan-perumpamaannya. Selanjutnya berpegang pada sesuatu yang kamu lihat
lebih dicintai (lebih diridhai) dan lebih menyerupai (mendekati) kebenaran.
Jauhilah
emosi, kejenuhan, kegelisahan, dan menyakiti manusia saat bersengketa.
Sesungguhnya keputusan yang benar akan mendapat pahala dari Allah dan selalu
dikenang. Barangsiapa niatnya tulus dalam kebenaran sampai pada dirinya
sendiri, maka Allah akan memelihara rahasia-rahasianya. Bagi mereka yang berlaku
culas, maka Allah akan mempermalukannya, karena Allah tidak menerima selain ketulusan dari hambanya. Maka ingatlah
pahala Allah, rezeki, dan rahmat-Nya. Demikianlah dan wassalam.[4]
[1]
Ibnu Hajar Atsqalani,Terjemah
Hadis Bulughul Maram,,(Bandung:Gema Risalah Press)cet ke empat,hal 464
[2]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah,Panduan
Hukum Islam,(Jakarta:Pustaka Azzam,2007),hal 78
[3]
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/06/02/bab-iii-sistem-peradilan-islam-rahmat-bagi-seluruh-rakyat/
Minggu, 19 Des 2010 Pukul 21.45
[4]
Ibnu Qayim
al-Jauziyah,Panduan Hukum Islam,hal 74
2 komentar:
andai saja indonesia pakai hukum islam..hemmm
@Faishol: Indonesia itu mayoritas mengalami islamophobia (ketakutan akan Islam). Baik itu karena Islam dengan Image kejam dan tidak berprikemanusiaan. Seringkali mereka tidak melihat tujuan penghukuman itu sndiri namun hanya melihat kerasnya hukuman (potong tangan, rajam, cambuk, dll). padahal tujuan penghukuman itu adalah untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Menurut pengalaman ortu saya di Mekkah, bahwa penduduk di sana tidak perlu takut meninggalkan warung atau barang dagangannya dalam keadaan terbuka ketika waktu shalat tiba, karena para pencuri di sana takut dengan hukum Islam. Menjadikan mereka jera. Bandingka dan rasakan aja sendiri sama kondisi di Indonesia dengan KUHP kebanggaannya....
Posting Komentar