A. Larangan
Penulisan Hadits (Masa Nabi Saw 13 SH -11 H)
بلغوا عنى ولو اية اخرجه البخارى واحمد والترمذى
Artinya: “sampaikan dari padaku walaupun satu
ayat.” (HR Bukhari,Ahmad,Turmudzi,Ibn Umar)
Sabda Nabi:
الا ليبلغ الشاهد منكم الغا ئب اخرجه البخارى ومسلم وابن ماجه
Artinya: “Ingatlah hendaklah menyampaikan yang
hadir diantara kalian kepada yang tidak hadir.” (HR Bukhari,Muslim,dan Ibnu Majah)
Maksud ayat pada hadits
pertama bukan saja ayat Al-Qur’an, tetapi ayat yang jatuh setelah walaw =
meskipun li Al-Ghayah = menunjukkan makna sampai batas minimal,
sekalipun sedikit sesuai dengan yang didapat atau sesuai dengan kemampuan.
Sampaikanlah dari padaku baik Al-Qur’an dan sunah sekalipun sedikit kepada
orang lain. Penyampaian berita atau sunah terutama bagi mereka yang
melihat,mendengar, dan hadir di majlis Nabi kepada sesama sahabat atau generasi
berikutnya yang tidak hadir dan tidak mendengar hadits.
Memang
dalam hal penulisan hadits ada dua periwayatan yang lahirnya kontradiktif yang
satu melarang dan yang lain lagi justru perintah menulis. Berikut ini akan
dipaparkan diantara hadits yang melarang penulisan sunah dan diantara hadits
yang perintah penulisannya.
1. Hadits
melarang penulisan
Diantara
Hadits yang melarang penulisan sunah, seperti periwayatan Abi Sa’id Al-Khudri
ra. Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القران فليمحه رواه مسلم
Artinya: “Janganlah engkau tulis dari padaku,
barang siapa menulis dari padaku selain Al-Qur’an, maka hapuslah.” (HR Muslim)
2. Hadits
perintah penulisan
Diantara
hadits yang memperbolehkan penulisannya, seperti:
a.
Hadits dari Abdullah bin Umar berkata: “aku menulis apa yang telah aku
dengar dari Rasulullah ,maka aku dilarang oleh kaum Quraisy. Mereka berkata:
Apakah engkau tulis apa yang engkau dengar dari Rasulullah,sedang beliau
manusia biasa yang berbicara ketika senang dan benci, maka aku sampaikan berita
ini kepada Rasulullah. Kemudian
beliau berisyarat dengan jari ke lisannya dan bersabda:
اكتب فو اللدى
نفسى بيده ما خرج منه الا حق رواه ابو
داود
Artinya:”Tulislah demi Dzat diriku dibawah
kekuasaan-Nya, dan tidak keluar dari padanya kecuali hak”(HR Abu Daud)
b.
Pada saat nabi Menaklukan Mekkah, beliau berdiri dan berkhutbah. Kemudian
ada seorang laki-laki dari Yaman berdiri bernama Abu Syah dan bertanya:
“Tuliskanlah aku?” Maka Rasulullah bersabda:
اكتبوا ﻷ بى شاة رواه البخارى وابو داود
Artinya:” Tuliskanlah untuk Abu Syah” (HR Bukhari dan Abu Daud)
Para ulama berbeda
pendapat dalam menanggapi dua versi hadits yang kontra diatas, diantara mereka
berpendapat bahwa hadits yang melarang hadits penulisan dihapus (di nasakh)
dengan hadits yang memperbolehkannya. Hadits Abu Said Al-Khudri terjadi pada
awal Islam masih dikhawatirkan bercampur aduk dengan Al-Qur’an, sedang hadits
Abu Syah terjadi pada akhir kehidupan Rasulullah yaitu pada masa penaklukan
Mekkah (Fath Makkah) kemudian dikuatkan dengan ijma para ulama pada masa-masa
berikutnya yang memperbolrhkan penulisan.
Sementara
ulama lain berpendapat, lebih cenderung kompromi antara dua hadits yang kontra
itu dengan melakukan takhsish al-amm. Maksud larangan dalam hadits bagi
orang yang kurang kuat hapalannya, sedang kebolehannya bagi orang yang kuat
hapalannya seperti Abu Syah. Atau larangan bagi orang yang dikhawatirkan campur
aduk tulisannya dengan Al-Qur’an misalnya ditulis dalam satu lembar dan atau
diantara mereka Al-Bukhari berpendapat, hadits larangan penulisan yang
diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri Mawquf pada Abu Said Al-Khudri.
Bahkan semua hadits larangan penulisan berkualitas dhaif kecuali satu
yaitu riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudri yang mawquf tersebut.
Pendapat
pertama, hadits tentang larangan penulisan hadits di-nasakh dengan hadits
perintah penulisan lebih kuat dari pada kompromi takhsish al-amm yang
sama hasilnya yakni menunjukkan kebolehan penulisan. Namun, sebenarnya dua
pendapat yang berbeda diatas hanya secara formalitas, secara substansial dapat
dikompromikan. Kompromi yang dimaksudkan, bahwa pengkhususan (takhsish) sebagian
sahabat yang diperbolehkan menulis
hadits pada saat larangan bagi umum tidak bertentangan dengan nasakh. Jadi
alasan (illat) larangan tidak me-nafi-kan (meniadakan) takhsish.
Dengan demikian larangan atau kebolehan menulis pada dasarnya bukan hanya pada
permulaan Islam saja, tetapi manakala didapati ‘illat larangan, maka
dilaranglah penulisan itu. Kemudian lambat laun hilanglah perbedaan tersebut
dan umat Islam menjadi sepakat bolehnya penulisan. Seandainya sunah tidak
dikodifikasikan para ulama, hilanglah sunah setelah meninggalnya para ulama dan
generasi pada masa belakangantidak kenal sunah.
Larangan
penulisan untuk umum, bagi orang-orang tertentu karena pertimbangan tertentu
ada yang diperbolehkannya, misalnya Abu Syah dengan pertimbangan hapalannya
yang kurang, atau seperti Ibn Umar karena tulisannya bagus dan rapi sehinnga
tidak adamkekhawatiran campur aduk dengan Al-Qur’an. Atau jika terjadi proses
adanya nasikh mansukh karena adanya perkembangan alasan menuju
kesempurnaan hukum.
B. Masa Pembatasan
Periwayatan (Al-Khulafa Al-Rasyidun 12-40 H)
Pro dan
kontra tentang penulisan sunah masih terasa pada masa sahabat (Al-Khulafa
Al-Rasyidun), karena keinginan mereka untuk menyelematkan Al-Qur’an dan sunah.
Diantara mereka ada yang benci menulis sunah, karena Al-Qur’an belum
dikodifikasikan dan dikhawatirkan perhatian mereka tersita atau berpaling dari
Al-Qur’an. Seperti periwayatan:
“Urwah Ibn Al-Zubayr,
bahwa Umar Ibn Al-Khathab bersama para sahabat setelah bermusyawarah dan
disepakati beliau istikharah kepada Allah selama satu bulan, kemudian berkata:
sesungguhnya aku ingin menulis sunah dan aku telah menyebutkan suatu kaum
sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan
meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampurkan
kitab Allah dengan sesuatu selamanya.”
Pada masa
Abu Bakar dan Umar disebut masa pembatasan/penyederhanaan periwayatan (taqlil
al-riwayah), penyampaian periwayatan dilakukan dengan lisan dan hanya jika
benar-benar diperlukan saja yaitu jika umat Islam menghadapi suatu masalah saja
yang memerlukan penjelasan hukum. Kedua khalifah diatas menerima hadits orang
perorangan jika disertai dengan saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya
jika juga disertai dengan sumpah.
Demikian juga
para sahabat lain yang semula melarang menulis sunah akhirnya memperbolehkannya
bahkan menganjurkannya setelah tidak ada kekhawatiran pemeliharaan Al-Qur’an
seperti Abdullah Bin Mas’ud, Ali Bin Abi Thalib, Hasan Bin Ali, Muawiyah,
Abdullah Bin Abbas, Abdullah Bin Umar, Anas Bin Malik, dan lain-lain.
Isu yang
ditebarkan para pengingkar sunah bahwa UmarIbn Al-Khathab pernah memenjara
sebagian sahabat yang meriwayatkan hadits diantaranya Ibn Mas’ud, Abu Al-Darda,
dan Abu Dzarr. Menurut Mustafa Al-A’zhami setelah mengadakan penelitian
diberbagai buku yang dapat dijadikan pedoman (mu’tabar) tidak terbukti, karena
tidak ada periwayatan yang menyatakan hal tersebut. Jika terdapat periwayatan
sebagaimana isu diatas berarti jelas kepalsuannya. Ibn Mas’ud tergolong sahabat
senior dan pendahulu Islam yang dihormati Umar, ia diutus ke Irak untuk
mengajarkan agama dan hukum-hukum Islam. Sedangkan Abu Al-Darda dan Abu Dzarr
tidak tergolong sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, mereka juga pengajar
penduduk syam sebagaimana Ibn Mas’ud menjadi guru di Irak. Ibn Hazm juga
menjelaskan bahwa riwayat Umar memenjarakan tiga orang sahabat diatas adalah
dusta, tidak benar.
Hukum
penetapan penulisan hadits terjadi secara berangsur-angsur (Al-Tadarruj). Pada
saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghapal dan menulis
Al-Qur’an. Sunah hanya disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan ke
lisan dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka
lihat dan apa yang mereka dengar dari panutan yang mulia yaitu Nabi Saw.
Kemudian setelah Al-Qur’an terpelihara dengan baik, mereka telah mampu
membedakannya dengan catatan sunah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan
Al-Qur’an, para ulama sepakat bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah.
Pada masa
Ali ra, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat konflik politik antara
pendukung ‘Ali dan Mu’awiyah. Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan:
1. Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan
perdamaian dua kelimpok yang bertikai.
2. Syi’ah sangat fanatik dan mengkultuskan ‘Ali
3. Jumhur umat Islam yang tidak termasuk golongan pertama
dan kedua diatas. Diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali,ada yang
mendukung pemerintahan Mu’awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan
diri dalam kancah konflik.
Akibat
perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat Hadis palsu (mawdhu’)
untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau
partai-partai diatas untuk mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah
awal terjadinya Hadis mawdhu’ dalam sejarah yang merupakan dampak
konflik politik secara internal yang kemudian diboncengi faktor-faktor lain
dalam perkembangan berikutnya yang nanti akan dibahas pada bab Hadis mawdhu’.
Ulama di kalangan sahabat tidak tinggal diam dalam menghadapi pemalsuan hadis
ini. Mereka berusaha menjaga kemurnian Hadis dengan serius dan sungguh-sungguh,
diantaranya mengadakan perlawatan ke berbagai daerah Islam untuk mengecek
kebenaran Hadis yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan ataupun
sanad. Hail perlawatan itu disampaikan kepada umat Islam secara transparan.
C. Masa
Perlawatan Hadits (41 akhir abad 1 H)
Masa ini
awal berkembangnya periwayatan dan perlawatan ke kota-kota besar untuk mencari
hadits dari para sahabat dan tabi’in senior yang telah pindah ke kota-kota lain
atau daerah-daerah lain setelah masa perluasan ekspansi wilayah Islam. Masa ini
disebut masa rihlah ilmiyah. Setelah ekspansi Islam semakin luas, yakni
sejak masa Utsman, Ali, dan sampai akhir abad pertama hijriah, para sahabat
senior banyak yang hidup di berbagai negeri yang terpisah untuk mengajarkan
Al-Qur’an dan hadis di berbagai wilayah yang telah dikuasai Islam. Diantara
daerah yang telah dikuasai Islam adalah Syam dan Irak (17 H), Mesir (20 H), Persia (21 H), Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H).
Para sahabat yunior
banyak yang mengadakan perjalanan jauh (rihlah ilmiyah) untuk menghimpun
atau mengecek kebenaran hadis dari sesamanya atau dari sahabat yang lebih
senior. Misalnya yang dilakukan Jabir bin Abdullah yang pernah melakukan rihlah
ke Syam dalam waktu satu bulan dengan menjual seekor unta untuk ongkos
perjalanan hanya ingin mendapatkan satu hadits yang belum pernah ia dengar.
Dari
Abdullah bin Unays tentang Hadis
يخشر الناس عراة
عزلا بهما رواه البخارى احمد االطبرانى
البيحاقى
“ Manusia digiring pada hari kiamat telanjang tidak berpakaian,
berwarna hitam” (HR Bukhari,
Ahmad, at-Thabrani, al-bayhaqi)
Demikian juga Abu Ayyub
al-Anshari yang tinggal di Madinah pergi ke Mesir untuk menemui ‘Uqbah bin Amir
al-Juhari untuk menanyakan sebuah hadis yang belum pernah ia dengar, yaitu
sabda Nabi:
من ستر مؤمنا فى
الدنيا على كربته سترالله يوم القيامة
رواه البيحا قى
“ Barang siapa yang
menutupi kesukaran-kesukaran orang mukmin di dunia, maka Allah akan menutupinya
pada hari kiamat” (HR Al-Bayhaqi)
Ada 6 orang diantara sahabat yang banyak meriwyatkan
hadits ialah:
1. Abu Hurairah sebanyak 5.374
buah hadis dan ia mengambilnya lebih dari 300 orang diantara sahabat.
2. Abdullah bin Umar bin
Al-Khathab sebanyak 2.635 buah hadis
3. Anas bin Malik sebanyak 2.286
buah hadis
4. ‘Aisyah Ummi Al-Mukminin
sebanyak 2.210 buah hadis
5. Abdullah bin Abbas sebanyak
1.660 buah hadis
6. Jabir bin Abdullah sebanyak
1.540 buah hadis
Para
sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis ada beberapa alasan,
diantaranya lebih dahulu bersahabat dengan Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud,
atau karena banyak berkhidmah dengan beliau seperti Anas bin Malik, atau karena
banyak menyaksikan internal dalam rumah tangga beliau seoerti ‘Aisyah, dan atau
karena ketekunannya dalam hadis seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr,
dan Abu Hurairah.
Di antara
kota-kota yang menjadi pusat kegiatan periwayatan hadis ialah sebagai berikut:
1. Madinah
Diantara
tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Madinah adalah Abu Bakar,
Umar, Ali (sebelum pindah ke Kufah),Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Abu Said
Al-Khudri, dan Zaid bin Tsabit. Diantara tabi’in yang belajar kepada mereka
adalah: Sa’id, Urwah, Al-Zuhri, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud,
Salim bin Abdullah bin Umar, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Nafi’, Abi
Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dan Abu Al-Zinad.
2. Makkah
Diantara
tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Makkah adalah Mu’adz bin
Jabal dan Ibn Abbas. Sedangkan para Tabi’in yang belajar kepada mereka adalah:
Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Abu Al-Zubair Muhammad bin Muslim.
3. Kufah
Diantara
pemimpin besar hadits di Kufah adalah ‘Abdullah bin Mas’ud yang belajar dari padanya
antara lain Masruq,Ubaydah,Al-Aswad,Syuraih,Ibrahim,Said bin Jubair, Amir bin
Syurahil, dan Al-Sya’bi.
4. Bashrah
Di antara
tokoh hadis di kota
ini dari kalangan sahabat adalah Anas bin Malik, ‘Utbah, ‘Imran bin Hushain,
Abu Barzah, Ma’qil bin Yasar, Abu Bakrah, ‘Abdurrahman bin Samurah, dan
lain-lain. Sedangkan tabi’in yang belajar kepada mereka antara lain: Abu al-Aliyah,
Rafi’ bin Mihram, Al-Hasan al-Bishri, Muhammad bin Sirin, Abu Sya’tsa, Jabir
bin Zayd, Qatadah, Mutharraf bin Abdullah bin Syikhkhir, dan Abu Burdah bin Abu
Musa
5. Syam
Di
Antara sahabat yang mengembangkan hadits di Syam adalah Mu’adz bin jabal,
‘Ubadah bin al-Shamit, dan Abu al-Darda. Sedang dikalangan tabi’in adalah Abu
idris al-Khawlani, Qabishah bin Dzua’ib, Makhul, dan Raja’ bin Haywah.
6. Mesir
Di
antara para sahabat di Mesir adalah Abdullah bin ‘Amr, ‘Uqbah bin ‘Amir
Kharijah bin Hudzaifah, Abdullah bin Sa’ad, Mahmiyah bin Juz, Abdullah bin
Harits, dan lain-lain kurang lebih ada 40 orang sahabat sedang di kalangan
tabi’in antara lain Abu al-Khayr Martsad al-Yazini dan Yazid bin Abi Habib.
D. Masa
Pengkodifikasian Hadis (abad 11 H)
Pada akhir abad ke 1 H,
khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) menganggap perlu sekali adanya
penghimpunan dan pembukuan Hadis, karena beliau khawatir lenyapnya
ajaran-ajaran Nabi dengan wafatnya para ulama baik dikalangan sahabat atau
tabi’in. kemudian beliau menginstruksikan kepada para gubernur di seluruh
wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli menghimpun dan membukukan Hadis.
Dari ‘Ikrimah bin ‘Amar
berkata: aku mendengar surat
Umar bin Abdul Aziz berbunyi: “mereka perintah kepada ahli ilmu agar bertebaran
ke masjid-masjid karena sunnah telah mati.” Beliau mengalokasikan bagi ahli
ilmu sebagian dana dari bayt al-mal untuk memenuhi hajat mereka agar
lebih dapat konsentrasi dalam mengajar dan menyebarkan ilmu. Beliau pun menulis
kepada penduduk Madinah:
انظروا حديث رسول الله صلى الله
عليه وسلم فا كتبوه فا ئنى خفت دروس العلم وذها ب ﺃهله
Artinya: “Lihatlah Hadis Rasulullah kemudian
tulislah, sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama.” (HR Al-Darimi)
Salah
seorang ulama yang populer dan banyak andil dalam pengimpunan dan
pengkodifikasian Hadis baik dari Nabi atau dari sahabat pada masa ini adalah
Ibn al-Syihab al-Zuhri. Ia telah melaksanakan tugas pengkodifikasian Hadis dari
khalifah. Ia berkata:
“kami diperintah khalifah
Umar Ibn Abdul Aziz untuk menghimpun sunah, kami telah melaksanakannya dari
buku ke buku kemudian dikirim ke setiap wilayah kekuasaan Sultan satu buku.”
Berdasarkan
inilah para ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa Ibn al-Syihab al-Zuhri
orang pertama yang mengkodifikasikan Hadis pada awal tahun 100 H dibawah
khalifah Umar bin Abdul Aziz. Maksudnya disini orang yang paling awal
menghimpun hadis dalam bentuk formal atas instruksi seorang khalifah dan
ditulis secara menyeluruh, karena tentunya penghimpunan telah dimulai sejak
masa Rasulullah dikalangan para sahabat dan tabi’in namun belum menyeluruh, dan
dalam bentuk catatan individu.
Ulama lain sebagai penghimpun
Hadis pertama pada masa ini antara lain:
1. Ibn juraij (wafat tahun 150 H)
di Makkah
2. Al-Awza’I (w. 156 H) di Syiria
3. Sufyan Al-Tsawri (w. 161 H) di
Kufah
4. Imam Malik (w. 179 H) di
Madinah
5. Al-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H)
di Bashrah
6. Husyaim Al-Wasithi (w. 188 H)
di Wasith
7. Ma’mar Al-Azdi (w. 153 H) di
Yaman
8. Jarir Al-Dhabi (w. 188 H) di
Rei
9. Ibn Mubarak (w 181 H) di
Khurrasan
10. Al-Layts bin Sa’ad (w. 175 H)
di Mesir
Tekhnik
pembukuan Hadis pada masa ini si pengarang menghimpun Hadis-Hadis mengenai
masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan dengan bab-bab
lain mengenai masalah yang lain dalam satu karangan. Namum Hadis pada abad ini
masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan
pada abad sebelumnya yang masih berbentuk lembaran (Shuhuf) atau shahifah-shahifah
(lembaran-lembaran) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam bab
secara tertib. Materi hadisnya dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh
para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik
dari sahabat atau tabi’in. kitab-kitab hadis pada masa itu tidak sampai kepada
kita kecuali diantaranya Al-Muwaththa yang ditulis oleh imam Malik dan musnad
Imam As-Syafi’i.
Teknik
pembukuannya mushannaf,muwaththa, musnad, dan al-jami’. Mushanaf dalam
bahasa diartikan sesuatu yang tersusun, muwaththa dalam bahasa diartikan
sesuatu yang dimudahkan. Dalam istlah keduanya diartikan sama, yaitu
teknik pembukuan hadits berdasarkan klasifikasi hukum fikih dan di dalamnya
mencantumkan hadis marfu’, mauquf, dan maqtu’,. Misalnya Muwaththa’
Imam Malik (w. 179 H), Muwaththa Ibn Dzi’ib al-Marwazi (w. 158 H),
dan lain-lain. Pembukuan musnad adalah pembukuan hadis yang didasarkan
pada nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, seperti Musnad
Al-Syafi’i. sedang teknik pembukuan Al-Jami’ dalam bahasa diartikan
menghimpun,mengumpulkan dan mencakup. Arti istilah disini dimaksudkan kitab
yang penyusunannya mencakup segala topik permasalahan, seperti kitab al-jami’
li al-Imam ‘Abd al-Razzaq bin Hammam al-Shan’ani (w. 211 H).
Diantara
dokumentasi penting adalah sebagai berikut:
1. al-Shahifah al-Shadiqah,
tulisan ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash (w 65 H)
2. Shahifah Jabir bin ‘Abd Allah
al-Anshari (w 78 H) yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat
3. al-Shahifah al-Shahihah, catatan
salah seorang tabi’in Hammam bin Munabbih (w 131 H)
4. al-Majmu’, karya Imam Zayd bin
‘Ali bin husain bin ‘Ali bin Abi Thalib (w 122 H)
D. Kejayaan
Kodifikasi Hadis ( Abad III H )
Pada abad
ini disebut “Azha ushur al-sunnah al-Nabawiyyah” (masa keemasan sunah),
karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunah serta pembukuannya
mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Maka lahirlah buku-buku Hadis Musnad,
buku induk Hadis enam, buku Hadis Sunan, dan Shahih yang
dipedomani oleh umat Islam.
Maksud buku
induk Hadis enam ialah buku-buku Hadis yang dijadikan pedoman dan referensi
para ulama Hadis berikutnya yaitu:
1. al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari
(194-256 H)
2. al-Jami’ al’Shahih li Muslim
(204-261 H) kedua kitab ini disebut “al-Shahihayn” atau “Muttafaq alaih”.
3. Sunan al-Nasa’I (215-303 H)
4. Sunan Abu Dawud (202-276 H)
5. Jami’ Al-Turmudzi (209-269 H)
6. Sunan Ibn Majah (209-276 H)
Masa ini
juga disebut “ashr al-jami’ wa al-Takhsish” (masa pembukuan dan penyaringan),
karena masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, pada masa ini ulama hadis
telah berhasil memisahkan Hadis Nabi Saw dari yang bukan Hadis atau dari hadis
Nabi dari perkataan sahabat dan fatwabya dan telah berhasil pula mengadakan
filterisasi yang sangat teliti.
Perkembangan
pembukuan Hadis pada masa ini ada tiga bentuk, yatiu sebagi berikut:
1. Musnad, yaitu menghimpun semua
Hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya dan
dinilai ada yang shahih, hasan, dan dhaif. Misalnya semua hadis Nabi yang
dipeoleh seoran periwayat melalui Aisyah dikelompokkan pada Hadis-hadis Aisyah.
2. Al-jami’, yaitu teknik
pembukuan hadis yang mengakumulasi 9 masalah yaitu aqa’id, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir,
tarikh, sifat-sifat akhlaq (syamail), fitnah, dan sejarah (manaqib). Misalanya
kitab al-jami’ al-Shahih al-Bukhari, al-jami’ Shahih li Muslim, dan Jami’ al-Turmudzi.
Kualitas kitab Al-Bukhari dan Muslim shahih semua sebagaimana nama kitab yang
menyebutkan kata al-Shahih sedang kitab al-Turmudzi sama dengan kitab sunan ada
yang shahih, hasan, dan dhaif.
3. Sunan, teknik penhimpunan
Hadis secara bab seperti fikih, setiap bab memuat beberapa Hadis dalam satu
topik, seperti sunan al-Nasa’I, sunan Ibn Majah, dan sunan Abu Dawud. Di dalam
kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dhaif.
E. Periode Abad IV-VI H
Ulama yang
hidup pada abad ke 4 H dan seterusnya disebut ulama muta’akhirin atau khalaf
(modern) sedang yang hidup sebelum abad 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau
ulama salaf (klasik). Perbedaan mereka dalam dalam periwayatan dan kodifikasi
hadis, ulama mutaqaddimin menhimpun Hadis Nabi dengan jalan langsung mendengar
dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan dan
sanadnya. Sedang ulama mutaakhirin cara periwayatannya dan pembukuannya
bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab ulama mutaqaddimin. Oleh karena itu
tidak banyak penambahan Hadis pada masa ini dan berikutnya kecuali sedikit saja
dan dari segi pembukuan lebih sistematik dari pada sebelumnya. Kegiatan
pembukuan hadis dalam bentuk ikhtisar (resume), istikhraj, dan syarah (ulasan).
Diantara
perkembangan buku Hadis pada masa abad IV ialah sebagai berikut:
1. Mu’jam yang ditulis oleh
Sulayman bin Ahmad al-Thabrani (w 360 H) yang terbagi dalam tiga Mu’jamnya
yaitu:
a. Al-Mu’jam
al-Kabir,penghimpunan Hadis yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara
abjad, hanya dimuli dari 10 sahabat yang digembirakan masuk surga oleh
Rasulullah. Mu’jam ini memuat kurang lebih 525.000 hadis.
b. Al-Mu’jam al-Aswath
c. Al-Mu’jam Al-Asghar, kedua
Mu’jam yang belakangan ini menghimpun beberapa Hadis berdasarkan yang diperoleh
dari syeiknya yang abjadi, hanya benruknya yang membedakan antara keduanya.
Jika Al-Mu’jam Al-Ausath tengah-tengah atau sedang, Al-Mu’jam Al-Asghar lebih
sederhana. Kitab Mu’jam seperti kamus ialah penghimpunan hadis didasarkan pada
nama musyyaikhnya atau negeri tempat tinggalnya atau kabilah secara abjadi.
2. Shahih, artinya diantara
metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadis shahihayn (Bukhari dan
Muslim), yaitu sebagai berikut:
§ Shahih Ibn Hibban al-Bas’ti
(w. 354 H)
§ Shahih Ibn Khuzaimah (w.311)
§ Shahih Ibn Al-Sakan (w. 353 H)
§ Al-Mustadrak ‘ala Shahihayn
yang ditulis Abi Abdullah Al-Hakim al-Nasyabiri (w.405 H). kitab Mustadrak
Artinya menambah beberapa hadis shahih yang belum disebutkan dalam kitab Al-Bukhari
Muslim dan menurutnya dan menurutnya telah memenuhi syarat keduanya.
3. Sunan, metode penulisannya
sperti kitab sunan abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadis-hadis tentang hukum
dan kualitasnya meliputi hadis-hadis shahih, hasan, dan dhaif, yaitu sebagai
berikut:
§ Muntaqa Ibn Al-Jarud (w.307 H)
§ Sunan Al-Daru Qutni (w. 385 H)
§ Sunan Al-Baihaqi (w. 458 H),
Al-Baihaqi memang wafatnya belakangan akan tetapi umumnya dimasukkan ke abad 4,
karena metode penulisannya yang mirip pembukuan abad 4 H.
4. Syarah, yakni penjelasan hadis
baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan
hadis atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau hadis,
misalnya:
§ Syarh Ma’ani Al-Atsar, ditulis oleh Al-Thahawi (w.321 H)
§ Syarh Musykil Al-Atsar, ditulis oleh Al-Thahawi (w. 321 H)
5. Mustakhraj, metode penulisan
istikhraj adalah seorang penghimpun hadis mengeluarkan beberapa hadits dari
sebuah buku hadis seperti yang diterima gurunya sendiri dengan menggunakan
sanad sendiri. Misalnya Mustakhraj Abi Bakr Al-Isma’ili ‘ala shahih
al-Bukhari (w. 371 H)
6. Gabungan beberapa buku Hadis,
yaitu sebagai berikut:
a. Gabungan dua kitab shahih “al-Jam’u
al-Bayn al-Shahihayn” yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad yang dikenal
dengan Ibn Al-Furat
b. Gabungan dua kitab shahih “al-Jam’u
al-Bayn al-Shahihayn” yang ditulis oleh Al-Husin bin Mas’ud Al-Baghawi (w.
516 H).
c. Gabungan lima kitab “al-Tajrid li al-Shahih wa
al-Sunan” yaitu gabungan Shahihayn, muwaththa, dan kitab-kitab sunan selain Ibn
Majah, yang ditulis oleh Abi Al-Hasan Razin bin Muawiyah Al-Sirqisthi. (W. 535
H).
d. Gabungan enam kitab,
“jami’Al-Ushul li Ahadits al-Rasul” yang ditulis oleh Ibn Atsir Al-Jazari”
(w.606 H).
G. Periode Abad VII – XII dan
Sekarang
Setelah pemerintahan
Abbasiyyah jatuh ke tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H, maka pusat
pemerintahan pindah dari Baghdad ke Kairo Mesir
dan India.
Pada masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu
Hadis sepeti Al-Barquq. Disamping itu banyak usaha ulama India dalam mengembangkan
kitab-kitab Hadis. Diantaranya, merekalah yang menerbitkan “Ulumul Hadis” karangan
Al-Hakim.
Pada akhir abad ke 7 H turki
dapat menguasai daerah-daerah Islam kecuali bagian Barat seperti Maroko dan
sekitarnya. Pada peretengahan abad ke 9 H Turki dibawah pemerintahan Otoman
berhasil merebut kota
Konstantinopel dan dijadikan ibu kotanya. Kemudian menaklukan Mesir dan
melenyapkan khilafah Abbasiyah. Turki semakin kuat, akan tetapi bersamaan
dengan itu pemerintahan Islam di Andalusia Hancur dan Islam padam setelah
memancar sinarnya selama 8 abad. Belum lagi imperialis Barat yang menguasai
dunia Islam dengan menjajah dan memperbudak umat Islam. Hal ini menyebabkan
kemunduran umat Islam dalam segala bidang termasuk dalam pengabdiannya terhadap
agama.
Karena kondisi seperti diatas,
ulama hadis tidak bebas dalam menyampaikan dan menerima Hadis. Maka dilakukan
secara murasalat (korespondensi), ijazah, dan Imlak. Metode
Ijazah artinya seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan
Hadis yang ditulis oleh gurunya. Sedang metode Imlak artinya, seorang guru
Hadis duduk di Masjid (biasanya pada hari Jum’at) kemudian ia menguraikan hadis
itu baik dari segi kualitasnya, kandungannya, dan lain-lain, sedan yang hadir
mencatat, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin Al-Iraqi (w. 806 H), dan Ibn
Hajar Al-Asqalani (w. 852 H).
Perkembangan penulisan Hadis
pada abad ini sebagai berikut:
1. Menyusun kembali kitab-kitab
Hadis dahulu, baik dari segi matan dan sanadnya untuk memudahkan bagi umat
Islam dalam mempelajarinya.
2. Menghimpun Hadis-Hadis Mawdhu’
(palsu), diantaranya seperti:
a. Al-Mawdhu’at ditulis oleh al-Asbahani (w.414 H).
b. Al-Mawdhu’at ditulis oleh Ibn Al-Jawzi. (w. 597 H).
c. Al-Laili al-Mashnu’at fi
al-Ahadits al-Mawdhu’at oleh
Jalaluddin Al-Suyuthi. (w. 911 H)
3. Hadis-Hadis hukum diantaranya
seperti:
a. Al-Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibn al-Kharat (w 581 H).
b. ‘Umdah Al-Ahkam oleh al-Maqdisi (w. 600 H).
c. Bulugh al-Maram oleh al-
Asqalani (w. 852 H).
4. Hadis Athraf, artinya
teknik pembukuan Hadis dengan menyebutkan permulaan Hadisnya saja, misalnya “Athraf
Al-kutub Al-Sittah” (Shahihayn dan kitab-kitab sunan selain Ibn
Majah) ditulis oleh al-Maqdisi dikenal Ibn al-Qisrani (w. 507 H).
5. Takhrij, yaitu seorang Muhaddis mengeluarkan
beberapa Hadis yang ada dalam buku Hadis atau pada buku lain dengan menggunakan
sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya. Misalnya ‘Irwa
Al-Ghalil fi Takhrij Ahadis Mannar al-Sabil, oleh Nashiruddin al-Albani.
6. Zawa’id yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti
musnad dan Mu’jam ke beberapa kitab induk Hadis. Mislanya Magna Al-Zawa’id wa
Manba’ al-Fawa’id ditulis oleh Al-Haytami (w 807 H). Dalam buku ini di samping berisikan kutub al-Sittah ada
tambahan Musnad Ahmad,al-Bazzar, Abi Ya’la, dan Mu’jam al-Thabarani. Zawa’id
juga diartikan mengumpulkan Hadis-Hadis yang tak terdapat dalam kitab-kitab
yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, seperti Zawa’id al-Sunan
al-Kubra disusun oleh Al-Bashri (w. 840 H).
7. Jawami’ atau Jami’
, sebuah kitab Hadis yang menhimpun kitab-kitab Hadis Nabi secara mutlak,
seperti Jami’ al-Kabir yang dikenal dengan sebutan Jami’ al-Jawami’ dan
al-Jami’ al-Shaghir tulisan al-Suyuthi (w. 911 H).
Demikian perkembangan
penulisan dan pengkodifikasian Hadis sampai pada abad 12 H. Mulai abad terakhir
ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para
ulama dalam bidang Hadis, kecuali hanya membaca, memahami, Takhrij, dan
memberikan syarah Hadis-Hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
PERKEMBANGAN, PEMBINAAN,
DAN PENGHIMPUNAN HADIS
No
|
Periode
|
Perkembangan
|
Karakteristik Periwayatan/Pembukuan
|
Model Tulisan/Buku
|
1
|
Nabi Muhammad
|
Larangan Penulisan Hadis untuk Umum
|
Hadis Dihafal
|
Catatan pribadi
dalam bentuk Shahifah (Lembaran)
|
2
|
Abad 1 H (Al-Khulafa Al-Rasyidun)
|
Penyederhanaan periwayatan (Taqlil al-Riwayat)
|
Disertai sumpah dan saksi
|
Catatan pribadi
dalam bentuk Shahifah
|
3
|
Abad 1 H (pasca al-Khulafa al-Rasyidun)
|
Perlawatan Hadis (Rihlah ‘Ilmiyah)
|
Disertai Sanad
|
Catatan pribadi
dalam bentuk Shahifah
|
4
|
Abad II H (Tabi’in)
|
Penghimpunan Hadis (al-Jam’u wa al-Tadwin)
|
Bercampur antara Hadis Nabi dan fatwa sahabat dan Tabi’in
|
Shahifah,
mushannaf, Musnad dan Jami’
|
5
|
Abad III H (Tabi’it Tabi’in)
|
Kejayaan kodifikasi Hadis (Azha’ ‘Ushur al-Sunnah)
|
Filterisasi dan klasifikasi (‘Ashr al jami’ wa al-Tashhih)
|
Musnad, Jami’,dan
Sunan
|
6
|
Abad VII-XIII dan Sekarang
|
Penghimpunan dan penyusunan (al-Jam’u wa al-Tanzhim)
|
Bereferensi (Muraja’ah)
pada buku-buku tetapi model pembukuan belum didapati pada masa sebelumnya
|
Zawa’id, Jami’,
Jawami,Athraf, Tajhrij, dan Mu’jam
|
Al-Syawkani dalam mukaddimah
kitab Nayl al-Authar mejelaskan, bahwa kitab-kitab Hadis yang sah dijadikan
hujjah adalah:
1. Shahih al-bukhari dan Shahih
Muslim
Hadis-hadis yang
tertulis dalam kedua kitab shahih al-Bukhari dan shahih Muslim dapat dijadikan
hujjah tanpa melihat sanad, hanya diperlukan meninjau maksud Hadis yakni
tinjauan dirayah.
2. Hadis-Hadis shahih dalam
selain al-Bukhari dan Muslim
Hadis-Hadis yang
terdapat dalam kitab0kitab selain shahih al-Bukhari dan Muslim, asal telah
dinilai shahih oleh salah seorang imam Hadis yang terpandang dan tidak dicacat
oleh ulama imam Hadis lain.
3. Kitab-kitab Hadis shahih
Hadis-Hadis yang
terdapat di dalam kitab-kitab Hadis yang menurut penyusunannya tidak memasukkan
selain Hadis shahih saja. Seperti shahih Ibn Khuzaimah dan lain-lain. Hal ini,
jika tidak didapati keteranan cacat dan kecuali shahih al-Hakim yang bernama
al-Mustadrak karena ia menulisnya pada saat berusia lanjut yang sudah tidak
sempat mengoreksi lagi.
4. Kitab-kitab sunan
Hadis-Hadis yang
terdapat dalam kitab sunan yang diakui keshahihannya atau kehasanannya oleh
pengarang kitab sunan tersebut dapat diterima.
Adapun Hadis-Hadis yang
terdapat dalam kitab-kitab sunan atau musnad yang tidak diterangkan
kualitasnya, hendaknya bagi orang yang ada kemampuan memeriksa atau meneliti,
periksalah terlebih dahulu keshahihannya atau kehasanannya. Jika tidak ada
kemampuan untuk meneliti, hendaknya mengikuti penelitian para ahli yang telah
mengadakan penelitian dan jika tidak didapatkan hendaknya dihentikan.
Rangkuman
Para sahabat sangat antusias dalam mencari,menyaksikan
dan mendengar Hadis dari Nabi Muhammad Saw, tetapi Hadis pada waktu itu hanya
dihapal atau diingat saja. Secara umum penulisan Hadis dilarang Rasul Saw
karena khawatir bercampur aduk dengan penulisan Al-Qur’an, kecuali secara
khusus bagi mereka yang lemah hapalannya seperti Abu Syah atau rapih tulisannya
seperti Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash. Penulisan Hadis pada waktu itu berfungsi
untuk membantu ingatan mereka agar tidak lupa, setelah hapal bagi sebagian mereka
catatan itu bisa jadi dibakar. Pada masa Al-Khulafa Al-Rasyidun para
sahabat memperkecil periwayatan Hadis atau tidak boleh meriwayatkannya kecuali
ada saksi dan beranni bersumpah. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara perhatian
mereka agar tetap mengutamakan Al-Qur’an.
Setelah Al-Qur’an
terkodifikasi (pada masa Utsman), para sahabat senior berpencar ke berbagai
daerah, timbul dan tersebar Hadis Mawdhu’ , dan para Ulama banyak yang
meninggal, pada masa Umar bin Abdul Aziz abad ke 2 H Hadis dihimpun dan dikodifikasikan
pertama kali dalam Islam. Namun pada masa ini hanya menghimpun dalam sebuah
buku dan belum difilter mana yang Hadis Nabi dan mana perkataan sahabat,
seperti Al-Muwaththa’ karya Malik. Baru pada abad ke 3 H Hadis mulai
dapat dihimpun, dikodifikasi, diklasifikasikan, dan diadakan
filterissasi/penyaringan antara Hadis Nabi dan perkataan atau fatwa sahabat dan
dapat pula diklasifikasikan mana yang shahih dan mana yang dhaif pada abad
inilah perkembangan kodifikasi Hadis mengalami puncaknya yaitu timbulnya 6 buku
induk Hadis.
Pada abad berikutnya yaitu
abad ke 4 H dan seterusnya tidak mengalami perkembangan yang signifikan, karena
para ulama ahli Hadis hanya bereferensi pada kitab-kitab abad sebelumnya.
Perkembangan pengkodifikasian Hadis berikutnya hanya terfokus dari segi
kualitas belaka, misalnya Al-Mustadrak, karya Al-Hakim (w 371 H), Al-Mu’jam
Al-Kabir,Al-Awsath, dan Al-Asghar karya Al-Thabarani (w. 360 H), Mustakhraj
Abi Bakar al-Ismaili ‘ala Shahih Al-bukhari (w.371 H), Syarah Ma’ani
Al-Atsar, karya Al-Tahawi (w. 321 H), Athraf Kutub Al-Sittah karya
Al-Maqdisi Al-Qisrani (w 507 H), dan lain-lain. Diantara buku hadis yang
dipedomani umat Islam adalah Al-Muwaththa, kitab-kitab Shahih, Sunan,
Musnad Ahmad, atau dari kitab-kitab lain yang
Telah diketahui tingkat keshahihannya
0 komentar:
Posting Komentar