Seorang hamba sudah selayaknya
bersikap syukur atas segala nikmat yang ia peroleh. Nikmat sesungguhnya bukanlah
dilihat berdasarkan materi semata. Barometer nikmat pun bukan hanya terletak
dari banyaknya penghasilan yang kita peroleh. Karena tipologi nikmat mencakup beberapa
lini kehidupan. Nikmat itu dapat berupa nikmat iman, nikmat sehat, nikmat ilmu,
nikmat hidup, nikmat keamanan, nikmat kedamaian, dan lain sebagainya. Oleh karena
itulah dengan perwujudan nikmat yang kian beragam tersebut, kita sangat
dianjurkan untuk bersyukur atas apa yang melekat pada diri kita. Pantaslah
kiranya jika Allah swt mengulang beberapa kali firman-Nya dalam surat ar-Rahman
dengan bentuk pertanyaan yaitu “maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu
dustakan?”.
Sikap syukur yang diimplementasikan
dalam rona kehidupan sehari-hari, nyatanya akan mendapat “reward” atau “bonus”
dari Allah berupa tambahan nikmat yang banyak. Namun kondisi itu berbalik jika
hamba tersebut mengingkari nikmat Tuhannya, yaitu berupa adzab yang pedih. Bentuk
kesyukuran seseorang sesungguhnya sangat bervariasi. Hal ini dapat dilakukan
misalnya dengan tidak banyak mengeluh akan apa yang sudah kita dapatkan, atau
mengisi kehidupan sebagai bagian dari nikmat dengan melakukan hal-hal positif,
meski sifat alamiah manusia tetap memiliki resistensi untuk melakukan perbuatan
negatif. Salah satu bentuk kesyukuran itu adalah dengan berkurban.
Berkurban
merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah dengan menyembelih seekor
binatang sebagai perwujudan syukur atas nikmat yang sudah kita peroleh. Hal ini
dapat dilihat berdasarkan surat al-Kautsar, yaitu Allah swt berfirman:
إِنَّآ أَعۡطَيۡنَـٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ (١) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ (٢) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ (٣)
Artinya: “Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1). Maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1]
(2). Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus[2]
(3)” (QS. al-Kautsar/108 : 1-3)
Ayat
tersebut menyiratkan bahwa ketika seorang hamba memperoleh nikmat yang banyak,
sudah seharusnya ia beryukur dengan melakukan ibadah kurban sebagai bentuk ketakwaannya
kepada Sang Khalik. Dalam syariat Islam, ibadah ini dapat dilakukan sesudah
pelaksanaan shalat Idul Adha sampai pada tanggal 13 Dzulhijjah. Hal ini
disandarkan atas sebuah hadis berikut ini:
مَنْ دَبَحَ قَبْلَ
الصَّلاةِ فَاِنَّّمَا يَدْبَحُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ دَبَحَ بَعْدَ الصَّلاةِ وَالْخُطْبَتَيْنِ
فَقَدْ اَتَمَّ نُسُكَهُ وَاَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِيْنَ (رواه البخارى)
“Barangsiapa
yang menyembelih kurban sebelum shalat hari raya haji, maka sesungguhnya ia
menyembelihnya untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang menyembelih kurban
sesudah shalat hari raya dan dua khutbahnya, sesungguhnya ia telah
menyempurnakan ibadahnya dan ia telah menjalani aturan Islam.” (HR. Bukhari)
Penyembelihan
hewan kurban, sesungguhnya tidak dapat dilakukan pada semua jenis binatang. Hewan
tersebut haruslah sempurna secara fisik sehingga bukanlah hewan yang cacat
seperti pincang, sakit, telinganya putus, dsb. Islam telah melakukan
kategorisasi dalam mengklasifikasikan hewan yang dapat disembelih sebagai hewan
kurban, yaitu:
1.
Domba yang telah
berumur 1 tahun lebih atau yang telah berganti giginya.
2.
Kambing yang telah berumur 2 tahun lebih.
3.
Unta yang berumur 5
tahun lebih.
4.
Sapi atau kerbau
yang telah berumur dua tahun lebih.
Hal
ini sesuai dengan sabda Rasul, yaitu
عَنِ اْلبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : اَرْبَعُ لَا تَجْزِئُ فِيْ الَاضَاحِى الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوْرُهَا
وَالْمَرِيْضَةُ اْلبَيِّنُ مَرْضُهَا وَالْعَرْجَاءُ اْلبَيِّنُ عَرْجُهَا وَاْلعَجْفَاءُ
اّلتِى لَاتُنْقِىْ رواه احمد وصححه
الترمذى
Artinya: “Dari
Barra bin Azib Rasulullah saw bersabda: empat
mcam binatang yang tidak sah dijadikan kurban ; rusak matanya, sakit, pincang,
kurus yang tidak berlemak lagi.” (HR. Ahmad dan dinilai shahih menurut Tirmidzi”
Rasulullah
saw bersabda:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَدْبَحُوْا اِلَّا مُسِنَّةً اَلَّا اَنْ
يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَدْبَحُوْا جَذْعَةً مِنَ الضَّاْنِ رواه مسلم
Artinya: “ Dari
Jabir Rasulullah saw bersabda: janganlah kamu menyembelih untuk kurban kecuali
yang musinnah (telah berganti gigi). Jika sukar didapati, maka boleh jaz’ah
(yang berumur satu tahun lebih) dari biri-biri.” (HR. Muslim)
Daging
dari hewan kurban yang telah disembelih kemudian dibagikan kepada orang-orang
yang tidak mampu. Dari sinilah salah satu hikmah berkurban didapati. Yaitu sudah
selayaknya kita berbagi kenikmatan yang kita peroleh dengan berkurban. Karena bagi
orang yang tidak mampu, menikmati daging hewan merupakan suatu bentuk
kemewahan yang jarang mereka dapati. Dalam
satu tahun, setidaknya orang yang kuat secara ekonomi sudah sepatutnya membantu
mereka yang berekonomi lemah. Sehingga dalam hal inilah Islam tidak hanya
mengajarkan pemeluknya untuk memelihara hubungan harmonis secara vertikal,
yaitu kepada Allah swt dengan bertakwa tetapi juga memelihara hubungan yang
harmonis secara horizontal yaitu berdasarkan hubungan sosial kemasyarakatan. Oleh
karena itulah diharapkan dengan adanya hari Raya Idul Adha tersebut,
kebahagiaan tidak hanya dirasakan oleh kalangan ekonomi kuat, namun dapat pula
dirasakan oleh kalangan ekonomi lemah.
Semoga
bermanfaat…
0 komentar:
Posting Komentar