A. Permasalahan Gizi Buruk
di Indonesia
Pada
1950, Bapak Gizi Indonesia, Dr Poerwo Soedarmo, membentuk Lembaga Makanan
Rakyat (LMR) untuk memperbaiki gizi masyarakat Indonesia. Namun, hingga
berselang 59 tahun,kasus malnutrisi atau kekurangan gizi ini masih sering terjadi.
Pemberitaan media massa kerap mengungkap kasus-kasus gizi buruk yang tidak
hanya terjadi di daerah terpencil, tetapi juga di kota-kota besar seperti
Jakarta (Republika, 08/01/09). Pada akhir 2008, DPR misalnya, menduga 30 persen
dari 110 juta balita di Indonesia diduga buruk menjadi program prioritas untuk
diselesaikan,
Kekurangan gizi pada masa balita
memang akan berpengaruh besar pada kualitas seseorang nantinya. Asupan gizi
yang kurang pada dua tahun pertama pertumbuhan, bisa menyebabkan gangguan
serius bagi perkembangan otak yang mengakibatkan tingkat kecerdasan si anak
terhambat. Padahal, 80 persen pertumbuhan otak terjadi pada masa itu. Belum
lagi, hambatan pada pertumbuhan fisik dan sistem kekebalan tubuhnya yang tak
sempurna. Bisa dibayangkan jika generasi muda bangsa ini tumbuh dalam keadaan
seperti itu.
Hingga pertengahan tahun 2008,
jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi masih pada kisaran 4 juta orang.
Memang jika dilihat dari kacamata statistik, angka ini persentasenya sangat
kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan penduduk Indonesia yang jumlahnya
telah mencapai lebih dari 220 juta orang.
Departemen Kesehatan sendiri
mengklasifikasikan angka tersebut dalam beberapa kategori. Ada yang disebut
dengan gizi kurang, risiko gizi buruk, dan gizi buruk. Yang disebut gizi buruk
adalah kondisi gizi kurang hingga tingkat yang berat yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi
dalam waktu yang cukup lama.
Menurut Data Depkes, awal Maret 2008, jumlah balita penderita malnutrisi pada 2007 adalah 4,1 juta jiwa. Sebanyak 3,38 juta jiwa berstatus gizi kurang dan 755 ribu termasuk kategori risiko gizi buruk. Sekali lagi, jika dilihat dari kacamata statistik, persentasenya memang tidak besar. Tapi, bisa jadi angka yang tercatat itu hanya fenomena gunung es. Kenyataan sebenarnya bisa jadi jauh lebih besar.
Menurut Data Depkes, awal Maret 2008, jumlah balita penderita malnutrisi pada 2007 adalah 4,1 juta jiwa. Sebanyak 3,38 juta jiwa berstatus gizi kurang dan 755 ribu termasuk kategori risiko gizi buruk. Sekali lagi, jika dilihat dari kacamata statistik, persentasenya memang tidak besar. Tapi, bisa jadi angka yang tercatat itu hanya fenomena gunung es. Kenyataan sebenarnya bisa jadi jauh lebih besar.
B. Faktor-Faktor Pemicu
Terjadinya Gizi Buruk
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus malnutrisi. UNICEF menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan. Sedangkan, malnutrisi yang terjadi akibat penyakit disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.
Faktor
ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat menjadi unsur
penting dalam pemenuhan asupan gizi yang sesuai di samping perilaku dan budaya
dalam pengolahan pangan dan pengasuhan anak. Pengelolaan lingkungan yang buruk
dan perawatan kesehatan yang tidak memadai juga menjadi penyebab turunnya
tingkat kesehatan yang memungkinkan timbulnya beragam penyakit. Meski Indonesia
dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya, bahkan sempat berhasil
memenuhi sendiri kebutuhan pangannya (swasembada pangan), namun ternyata masih
banyak masyarakat yang belum bisa memenuhi kebutuhannya akan bahan pangan.
Faktor ekonomilah yang menjadi masalahnya. Demikian pula, dengan perawatan
kesehatan yang masih menjadi barang mewah di negeri ini. Kemiskinan telah
membuat banyak penduduk Indonesia memilik akses yang sangat terbatas terhadap
produk pangan yang berkualitas. Berdasarkan catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), jumlah penduduk yang masuk kategori miskin pada 2008 mencapai
41,7 juta jiwa. Jadi, jangan heran jika kasus gizi buruk masih sering terjadi. Tetapi,
kemiskinan bukanlah satu-satunya akar masalah gizi buruk. Tingkat pengetahuan
dan pendidikan yang rendah menjadi faktor penting terjadinya kasus gizi buruk.
Tak sedikit kasus gizi buruk menimpa keluarga yang sebenarnya mapan secara
ekonomi. Penyebabnya, keluarga tersebut tak memiliki pengetahuan yang cukup
tentang masalah gizi dan kesehatan. Ibarat rantai, banyak faktor yang saling
berkait menjadi penyebab terjadinya lingkaran gizi buruk yang tidak ada
habisnya. Perlu ada upaya untuk memutus mata rantai penyebab gizi buruk ini. Sebenarnya,
pemerintah memiliki banyak program untuk mengatasi masalah kekurangan gizi,
terutama bagi balita. Sebut saja program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk
balita dan ibu hamil, penyuluhan kesehatan melalui posyandu, dan lain
sebagainya. Ada pula program kesehatan murah, bahkan gratis kepada masyarakat.
Namun, efektivitas pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Matinya ribuan
posyandu atau tidak terdistribusikannya makanan tambahan, menjadi potret buram
pelaksanaan program pencegahan kasus gizi buruk yang baru terlihat adalah upaya
sporadis ketika terjadi kasus gizi buruk. Tak hanya petugas kesehatan yang
terlibat, aparat pemerintahan, bahkan politikus pun turut ambil bagian. Tapi,
untuk upaya pencegahan yang sifatnya kontinu masih terkesan asal jalan. Ada hal
penting yang sebenarnya bisa diprioritaskan menjadi target penyelesaian kasus
gizi buruk di negeri ini. Pelibatan kaum perempuan secara intensif dalam
program penanggulangan gizi buruk bisa menjadi kuncinya. Mengapa kaum
perempuan? Karena dalam budaya dan sistem sosial Indonesia, kaum perempuanlah
yang mengelola rumah tangga, mulai dari manajemen belanja, mengasuh dan
mendidik anak, hingga menentukan menu makanan. Tentu, jika kaum perempuan
memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup tentang upaya-upaya pencegahan
terjadinya gizi buruk, kasus tersebut kemungkinan besar bisa ditekan hingga ke angka
minimal. Faktanya, masih banyak kaum perempuan yang abai tentang masalah ini,
bisa jadi karena ketidaktahuan atau faktor lain. Hasil yang dikeluarkan Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) periode 1997-2003 menunjukkan
kenyataan yang mencengangkan. Hanya 14 persen ibu di Tanah Air yang memberikan
air susu ibu (ASI) eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di
Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang dari duabulan. Padahal, ASI
adalah makanan terbaik untuk bayi. Selain mengandung gizi yang cukup lengkap,
mengandung imun untuk kekebalan tubuh bayi, juga sesuai dengan sistem
pencernaan bayi sehingga zat gizi dengan mudah diserap. Jika bayi tak mendapat
ASI, akan berdampak buruk pada kesehatan dan pertumbuhannya. Inilah salah satu
contoh kesadaran dan pengetahuan mendasar tentang kesehatan yang harus
diketahui dan diterapkan kaum perempuan, tentu dengan dorongan dan dukungan sepenuhnya
darisuami dan kaum laki-laki. Jika para ibu dan kaum perempuan paham betul
tentang masalah gizi dan kesehatan, tentunya sangat berpengaruh terhadap
kondisi kesehatan keluarga. Ia bisa menyediakan menu makanan dengan gizi yang
cukup tanpa harus selalu mengeluarkan uang dalam jumlah banyak. Tidak sedikit
bahan makanan yang bisa diperoleh dengan biaya murah, namun memiliki kandungan
gizi yang tinggi, termasuk bagaimana memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai
sumber makanan dan obat-obatan keluarga.
Pengetahuan dan
kebiasaan semacam ini bisa diperoleh kaum perempuan melalui penyuluhan secara
intensif, misalnya melalui program posyandu, atau melalui forum lain. Oleh
karena itu, pemerintah harus memberikan perhatian yang intens untuk program
seperti ini. Termasuk memberikan penghargaan kepada para kader kesehatan yang
tak pernah lelah menjalankan tugasnya. Selama ini pemerintah terkesan
mengesampingkan jasa-jasa mereka yang sebenarnya tidak kecil. Selain secara
informal, pendidikan kesehatan, terutama masalah pemenuhan gizi keluarga, sudah
selayaknya diberikan secara formal di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar
hingga lanjutan. Kelangkaan muatan kurikulum tentang masalah gizi dan kesehatan
menjadi salah satu penyebab rendahnya pengetahuan gizi dan kesehatan di masyarakat.
Dengan pembangunan pengetahuan dan kesadaran akan gizi dan kesehatan di kalangan kaum perempuan, setidaknya satu mata rantai kasus gizi buruk bisa kita putuskan. Tinggal bagaimana keseriusan pemerintah, masyarakat, dan seluruh stakeholder negeri ini menjalankan program pemberdayaan perempuan ini sebagai salah satu solusi penuntasan masalah gizi buruk di Indonesia. Sehingga, kita berharap di masa mendatang, kasus gizi buruk tidak lagi menghiasi halaman media massa dan digantikan dengan berita tentang anak-anak Indonesia yang sehat dan berkualitas.
Dengan pembangunan pengetahuan dan kesadaran akan gizi dan kesehatan di kalangan kaum perempuan, setidaknya satu mata rantai kasus gizi buruk bisa kita putuskan. Tinggal bagaimana keseriusan pemerintah, masyarakat, dan seluruh stakeholder negeri ini menjalankan program pemberdayaan perempuan ini sebagai salah satu solusi penuntasan masalah gizi buruk di Indonesia. Sehingga, kita berharap di masa mendatang, kasus gizi buruk tidak lagi menghiasi halaman media massa dan digantikan dengan berita tentang anak-anak Indonesia yang sehat dan berkualitas.
C. Solusi Permasalahan
Gizi Buruk
Maka
untuk mengatasi (menekan) jumlah penderita gizi buruk di kalangan balita,
pemerintah perlu kembali menggalakkan program posyandu guna memberikan
penyuluhan kesehatan terhadap kaum ibu agar lebih cermat dan hati-hati lagi
dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya.
Dengan pembangunan pengetahuan dan
kesadaran akan gizi dan kesehatan di kalangan kaum ibu setidaknya satu mata
rantai kasus gizi buruk bisa kita putuskan. Tinggal bagaimana keseriusan
pemerintah, masyarakat, para pelaku bisnis (pengusaha) dan berbagai lembaga kesehatan
yang ada di negeri ini untuk dapat bekerja sama dan menjalankan perannya dengan
sebaik mungkin sebagai salah satu solusi penuntasan masalah gizi buruk di
Indonesia. Sehingga kita berharap pada masa mendatang, kasus gizi buruk tidak
lagi menghiasi halaman media massa dan digantikan dengan berita tentang
anak-anak Indonesia yang sehat dan berkualitas
0 komentar:
Posting Komentar