Bintang kecil di langit yang biru,
amat banyak menghias angkasa.
Sebaris lirik
sederhana itu begitu saja melintas dipikiranku tanpa permisi. Sejenak aku
mengingat lirik lagu itu sekitar tahun 90-an. Di antara kalian mungkin lupa
atau sedikit ingat atau mungkin sangat ingat lirik lagu tersebut. Lirik itu pun
seolah menari-nari di pikiranku saat malam memang tengah bercumbu dengan
bintang. Namun, zaman yang semakin bergelimpangan dengan alam pikiran “modern”
sepertinya telah menggerus lirik itu dengan perlahan namun pasti. Dahulu, lagu
itu sempat hilir mudik di antara mulut-mulut mungil anak-anak kecil yang sedang
berkumpul di pinggir jalan dengan mainan yang mungkin saat ini disebut “ketinggalan
jaman”. Tapi saat ini, bocah-bocah itu mungkin sudah sungkan tuk mendendangkan
lagu yang menurutku “pantas” untuk mereka.
Dunia dan
zaman memang telah mendandani mereka menjadi dewasa lebih cepat dari yang
kulihat. Dunia yang berselimut lagu cinta telah menghipnotis para tunas bangsa
itu. Mereka yang mungkin masih buta dengan cinta telah begitu bersemangat
menyanyikan lagu cinta. Padahal aku sendiripun masih samar dalam meraba cinta.
Ini membuat lagu masa kanak-kanak dulu semakin tenggelam dan hilang oleh zaman.
Aku tak bermaksud menghukumi dan memidanakan anak-anak itu. Aku hanya terenyuh
dan merindukan lagu-lagu itu meluncur damai dari bibir-bibir yang polos dan
senyuman-senyuman yang masih penuh kejujuran. Kini mungkin lagu-lagu itu telah
bersembunyi di lorong-lorong hati dan pikiran orang-orang yang pernah
mendendangkan lagu itu dan kini mungkin mereka telah beranjak dewasa. Mereka
tidak salah, mereka tidak berdosa. Mereka hanya melakukan apa yang menurut
mereka baik, mereka sukai atau mereka senangi tanpa tahu baik atau tidak untuk
mereka tanpa tahu apakah pantas untuk mereka atau tidak. Sekelumit
tanda Tanya pun menyeruak. Apakah zaman yang telah merubah mereka atau kita
sebagai manusia pemilik akal yang sudah sempurna dan mampu berpikir baik dan
buruk yang telah mengubah zaman dan mengubah mereka???
Permainan
karet, bola bekel, congklak, kelereng, petak umpet, dan lain sebagainya telah
tertindas oleh ponsel, play station, facebook, twitter, Ipad, dan lain
sebagainya. Jajahan teknologi mungkin juga sudah mencapai permainan masa kecil
dulu. Kini mainan-mainan tempo dulu sudah dianggap usang dan berkarat untuk
dimainkan pada masa kini. Padahal mainan tersebut adalah bagian dari budaya Indonesia
yang diwariskan nenek moyang kita yang semestinya harus dilestarikan bukan
menjadi permainan yang telah menjadi sejarah dan penghuni musium. Mainan-mainan
tempo dulu itu pun sarat dengan ajaran kerja sama dan sosialisasi dan minim
efek negatif menurutku. Bayangkan jika dibandingkan dengan play station yang
sangat individualistis. Berjam-jam menatap layar televisi atau monitor. Hanya jari
jemari yang lincah memainkan konsol permainan. Mata semakin rusak daya
imajinasi semakin menurun apalagi jika game tersebut sarat kekerasan. Kita
mungkin tidak berhak mengharamkan permainan tersebut. Terkadang kita memang
harus mengikuti arus zaman seperti ini. Namun bukan berarti kita kehilangan
identitas bangsa sendiri. Identitas yang menjadi ciri mutlak kita. Identitas yang
menjadi pembeda kita dari bangsa lain.
Semoga secarik
tulisan ini mampu menggugah kita akan pentingnya masa kanak-kanak yang begitu
harmonis dengan segala kehidupannya yang begitu polos dan sederhana. Jika kamu
telah berkeluarga, memiliki keponakan, adik kecil, anak murid, atau anak-anak
disekitarmu, kenalkanlah segala permainan yang menjadi ciri khas kita sejak
dulu. Biarkan mereka berlarian dengan teriakan dan wajah polos mereka. Biarkan mereka
membuat bising telinga kita. Karena apa yang mereka rasakan saat ini, akan
membentuk mereka di masa depan. Juga dendangkan mereka dengan lagu sederhana
tanpa tercemari “cinta” yang membuat mereka menjadi “dewasa” lebih cepat. Lagu yang
mereka tanpa mengetahui secara mutlak makna lirik-liriknya. Karena mereka
adalah generasi bangsa yang akan menciptakan seperti apa Indonesia kelak.
Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar