“nikmat”, sebuah kata yang mungkin
selalu dirasakan oleh manusia, atau mungkin makhluk selain manusia. Nikmat
identik dengan sesuatu yang menyenangkan atau membahagiakan. Siapa yang tidak
suka dengan “nikmat”?. Semua orang pasti suka dengan nikmat. Baik itu nikmat
kesehatan, nikmat rezeki, naik jabatan, naik gaji, atau nikmatnya ketika kita
menyantap makanan favorit kita dan lain-lain yang kita anggap sebagai
kenikmatan.
Begitu banyak nan melimpah kenikmatan
yang berada di sekitar kita. Atau bahkan yang kini melekat di dalam tubuh kita
yang terkadang tanpa kita sadari karena kita sering menyepelekannya.
Namun, dari nikmat yang kita anggap “sepele”
itu justru menjadi penopang hidup kita. Contoh mudah yaitu nafas atau oksigen
yang kita hirup setiap saat. Oksigen yang selalu menghampiri paru-paru kita
adalah sebagian kecil dari nikmat Allah yang hingga kini masih kita rasakan.
Dengan oksigen tersebut nyawa kita masih terus bersambung. Kehidupan kita masih
berjalan hingga kini. Tidak ada makhluk hidup yang tidak memerlukan jenis udara
yang satu ini. Tak akan ada kehidupan tanpa udara yang menyertainya. Namun,
tahukah kita atau sadarkah kita semua udara segar yang disebut oksigen tersebut
kita dapatkan secara cuma-cuma alias gratis? Pernahkah Allah swt meluncurkan
dari langit sebuah kertas tagihan atas oksigen yang kita hirup selama
bertahun-tahun? Atau apakah kita perlu membeli “isi ulang” oksigen ketika kita
membutuhkannya?. Tentulah jawaban kita menegaskan TIDAK. Namun, bagaimana
seandainya Allah memang mematok harga untuk setiap oksigen yang kita hirup?
Tentu saya yakin tidak semua manusia mampu untuk membayar setiap kali kita
menghirup oksigen. Hal ini saya tulis karena teringat ketika kakak ipar saya
tengah mengalami gawat darurat ketika dadanya begitu sesak tanpa mampu untuk
bernafas seperti biasanya. Kala itu suasana begitu kalut. Belum lagi hari sudah
larut malam. Terbersit dalam benak saya suatu perasaan takut jika kakak saya
tersebut akan “pulang” kepada penciptanya. Namun, Alhamdulillah karena rumah
sakit yang selalu siap siaga 24 jam, kakak saya tersebut dapat tertolong dengan
bantuan oksigen segar atau murni yang melekat di hidung dan mulutnya selama
kurang lebih 30 menit. Puji syukur keadaan pun semakin membaik. Namun, dari
oksigen yang sudah terpakai selama 30 menit tersebut ternyata memiliki biaya
yang tidak murah (menurut saya). Dari situlah saya berpikir bahwa itu hanya 30
menit kita menghirup oksigen dari sebuah rumah sakit dan tentunya ada biaya
untuk itu. Bagaimana biaya atas udara yang kita hirup dan kita hembuskan secara
sia-sia selama ini? Jika seandainya Allah menagih atas harga oksigen kita
tersebut. Saya teringat sebuah kata yang
berasal dari film Indonesia, yaitu “sesuatu akan terasa bernilai ketika ia
tidak ada bersama kita”. Begitulah memang, ketika nafas yang kita hirup saat
ini mungkin dari sebagian kita termasuk saya, akan menyia-nyiakan nafas
tersebut. Namun ketika kesehatan kita dicabut oleh “Yang memberi kesehatan”,
maka saat itulah kita merasakan bahwa satu kali hembusan begitu bernilai untuk
kehidupan kita.
Hal itu barulah nafas yang saat ini
kita bicarakan. Bagaimana dengan nikmat lainnya yang berada di sekitar kita?
yang sangat dekat dengan kita. sungguh, kita tak akan mampu menghitung nikmat
Allah yang diberikan kepada kita bahkan jika seandainya lautan dijadikan tinta
untuk menghitung nikmat Allah. Namun, tentunya tugas kita bukan untuk
menghitung-hitung nikmat Allah, tetapi berusaha sebaik mungkin untuk
mensyukurinya. Memanfaatkan setiap hembusan nafas yang kita hirup saat ini
dengan selalu melakukan yang terbaik dalam hidup.
Kita mungkin bukan makhluk yang
sempurna dari kecacatan alias kesalahan atau kekhilafan yang kita lakukan. Karena
sebagai makhluk yang selalu berada dalam rel kesalahan, maka sangat mustahil
bagi kita untuk selalu melakukan yang baik dalam setiap nafas kita. Bahkan seorang
Nabi pun pernah melakukan kesalahan apalagi kita yang hanya manusia biasa yang
setiap hari pasti melakukan dosa, baik itu dosa kecil maupun dosa besar. Yang perlu
kita lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan kebaikan. Karena
kemampuan manusia tentunya memiliki kadarnya masing-masing. Intinya adalah
melalui tulisan ini saya berharap pada diri saya sendiri atau mungkin pembaca
sekalian agar selalu memelihara sikap syukur kita untuk segala nikmat yang kita
rasakan, baik itu yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Karena Allah
swt menjanjikan bahwa siapa yang bersyukur akan ditambah nikmatnya dan siapa
yang kufur (ingkar) atas nikmat-Nya, maka adzab (siksa) Allah swt sangatlah
pedih. Semua itu akan bermuara kepada perilaku dan sikap takwa kita kepada Sang
Pencipta yang semakin meningkat.
Semoga bermanfaat……..
2 komentar:
betul sob, memang kadang2 kita lupa untuk bersyukur, ketika sakit, baru merasakan mahalnya oksigen, posting yg bermanfaat..salam.
Thanks buat komentarnya..
semoga kita dapat melakukan "aji mumpung" dalam hidup. Mumpung lagi sehat, mumpung lagi ada kesempatan, mumpung selagi kita bisa tuk melakukan yang baik-baik. salam kenal juga...
Posting Komentar