A. Pengertian
Pers
Menurut
penjelasan daripada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers Pasal 1 angka 1 bahwa pers ialah lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
B. Di balik
Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Metamorfosa terhadap lahirnya Undang-Undang
pers ini tidak terlepas dari sikap dan kebijakan rezim pemerintah yang dilewati
dan dialami oleh pers itu sendiri. Seperti kebijakan mengenai pers pada era rezim
orde lama atau pemerintahan Presiden Soekarno. Pada saat itu, kebijakan
pemerintah selain menata solidaritas kebangsaan, juga memberikan janji manis
kepada pers. Pada bulan Oktober 1945, melalui Menteri Penerangan, Amir
Sjarifoedin, pemerintah mengeluarkan pernyataan penting mengenai pers, yaitu:
a. Pikiran
masyarakat umum itulah sendi dasar pemerintahan berkedaulatan rakyat.
b. Pers
yang tidak merdeka, tidak mungkin mengajarkan pikiran masyarakat hanya pikiran
dari beberapa orang yang berkuasa saja. Maka asas kami (pemerintah) ialah pers
harus merdeka.[1]
Namun
seiring berjalannya pemerintahan, wartawan yang kala itu kerapkali mengkritik
kinerja pemerintah, akhirnya banyak menemui kejanggalan terhadap “tingkah” dari
pemerintah. Karena kecaman-kecaman yang dilontarkan oleh pers, lama kelamaan
pemerintah pun mulai “gerah” dengan kritikan tersebut. Pers dan pemerintah yang
semula seiring sejalan pun mulai mengambil jarak hingga pemerintah yang sudah
menganggap pers bak duri yang mengganggu jalannya ketenangan pemerintah pun
mengambil tindakan keras dengan memusuhi pers.
Pada
masa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto telah dilahirkan sebuah
Undang-Undang yang dipercaya menjembatani terhadap kemerdekaan pers. Yaitu
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
Undang-undang ini secara umum memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan
pers. Misalnya terhadap pers tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Dalam
Pasal 3 undang-undang yang dimuat secara singkat ini dengan jelas menyebut,
pers nasional mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi. Sedangkan Pasal 4
undang-undang ini dengan tegas menyebut “ terhadap pers nasional tidak
dikenakan sensor dan pembredelan”. Namun demikian, kemerdekaan yang
diberikan oleh undang-undang pun perlahan memudar. Pola yang dilakukan sama
dengan rezim sebelumnya. Yaitu ketika pemerintah mulai terusik dengan
kritik-kritik pers, maka saat itu pulalah hubungan antara pers dan pemerintah
pun memanas. Hingga pemerintah tak sungkan untuk menekan, menangkap, dan
memenjarakan wartawan.
Perubahan
sikap terhadap per situ dimungkinkan karena terdapat celah yaitu di dalam satu
ayat dalam satu pasal. Ketentuan itu terdapat dalam Bab IX tentang peralihan,
yakni dalam Pasal 20 ayat 1 yang pada intinya bahwa kepada pers diharuskan
mendapatkan Surat Izin Terbit (SIT) dan ketentuan mengenai SIT tersebut diatur
oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers. Peraturan peralihan ini
memungkinkan pemerintah berhak pers mana yang boleh terbit dan yang tidak.
Meskipun Dewan Pers diebut dalam pasal tersebut, namun saat itu Dewan Pers
“dikebiri” sedemikian rupa oleh pemerintah. Pasal peralihan ini pun berakhir
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Namun Undang-Undang ini sangat
berlainan dengan undang-undang sebelumnya dan semakin memperkuat belenggu
kemerdekaan pers yaitu dengan mewajibkan seluruh pers agar memiliki Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Ketentuan mengenai SIUPP ini dijabarkan dalam
Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No 01/Per/Menpen//1984 dan Surat
Menteri Penerangan (SK Mepen) No 214A/Kep/Mepen/1984.[2]
Untuk memperoleh SIUPP sangat sulit. Untuk merubah nama, jumlah halaman, dan
ukuran penerbitan harus memperoleh izin khusus dari Menteri Penerangan.
Pelanggaran sepertin itu pun dapat mengakibatkan dicabutnya SIUPP sebagai kata
lain yaitu diberangus.
Seiring
dengan runtuhnya tampuk kepemimpinan Soeharto yang berarti mulai memasuki era
reformasi, maka saat itu pers pun memanfaatkan momen itu untuk terlepas dari
belenggu Orde Baru. Saat Indonesia dipimpin oleh BJ Habibie, lahirlah
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers yang menjanjikan kemerdekaan
untuk pers. Hal itu tersirat dari Pasal 4, yang berbunyi:
1) Kemerdekaan
pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara.
2) Terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelanggaran
penyiaran.
3) Untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi;
4) Dalam
mempertanggungjawawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak.
C. Kewajiban
Pers
Dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, dinyatakan bahwa kewajiban pers
adalah sebagai berikut:
a. Pers
wajib melayani hak jawab.
b. Pers
wajib melayani hak koreksi
Hak
jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan
atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan
kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun
tentang orang lain.
Adanya
hak jawab inilah yang menyebabkan pers dianggap memiliki sifat atau unsur
demokratis, karena hak jawab dianggap sebagai saluran yang membawa ekspresi
atau pendapat masyarakat. Hak jawab adalah penjaga keseimbangan dalam proses
antara pelaksanaan kemerdekaan pers dan hak asasi masyarakat untuk melindungi
diri dari kemungkinan kesalahan pemnberitaan pers.
Semula
hak jawab hanya diatur dalam kode etik jurnalistik. Namun saat ini keberadaan
hak jawab juga terdapat dalam Undang-Undang. Sehingga bagi seorang jurnalis
yang melanggar hak tersebut, berarti ia telah melanggar Undang-Undang sekaligus
kode etik jurnalistik.
Terdapat
beberapa fungsi terhadap hak jawab, fungsi itu adalah:
1.
Memenuhi Prinsip
Pemberitaan Yang Fair
Berita
yang fair ini dimaksudkan agar tidak ada pihak yang dirugikan atas pemberitaan
tersebut dengan memegang prinsip pemberitaan yang jujur dan berimbang. Namun
demikian tetap saja ada kemungkinan pers memuat berita yang merugikan baik
disengaja atau tidak disengaja.
Kerugian
itu dapat terjadi karena beberapa faktor, misalnya karena berita tidak
seimbang, tidak dikonfirmasi, dan tidak atau kurang akurat, miskomunikasi,
salah persepsi, dan sebagainya. Semua itu dapat terjadi karena human error,
keterdesakan waktu, dan keterbatasasn sarana yang tidak disengaja atau tidak
mentup kemungkinan ada pula pers selalu mengedepankan persepsi sesuai versinya
sendiri, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Hak jawab inilah yang
berfungsi mengembalikan prinsip pemberitaan yang fair. Sebab, dengan adanya hak
jawab ini, pers mau tidak mau harus memuat penjelasan atau keterangan semua
pihak yang terlibat termasuk pihak yang dirugikan itu.
2.
Memenuhi Unsur Demokrasi, Keadilan, dan
Supremasi Hukum.
Asas
ini, termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yaitu
kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Hal ini dimaksudkan
agar pers tidak hanya mendiktekkan pendapatnya sendiri dengan mengabaikan
keragaman pendapat lainnya. Pers juga harus memberikan akses kepada rakyat
untuk memanfaatkan kemerdekaan pers tersebut hak jawab memungkinkan rakyat
menyatakan pendapat atau fakta dari versi mereka terhadap hal-hal yang
dipandang merugikan mereka.
3.
Menghindari
Korban Sosial
Ketika
sebuah berita menyebar, terlebih lagi berita yang mempunyai konotasi yang buruk,
maka otomatis membuat yang bersangkutan menjadi sebuah korban sosial. Misalkan
seseorang yang diberitakan sebagai koruptor. Maka, tentunya orang tersebut akan
memperoleh sanksi sosial berupa pengucilan, cemooh dan karier orang tersebut
pun akan terusik. Hak jawab berfungsi meminimalisir akibat dari sebuah
pemberitaan yang keliru.
4.
Menghindari Ongkos Perkara Yang Lebih Mahal
Adanya
hak jawab memungkinkan mereka yang merasa dirugikan, dapat langsung membantah
pemberitaan tersebut tanpa harus melewati proses pengadilan. Melihat mekanisme
pengadilan yang lama dan dengan biaya yang mahal, maka dapat dimungkinkan
sebuah kasus akan melewati tahap yang begitu lama dan dengan biaya yang mahal.
Adanya hak jawab ini dimaksudkan untuk menghindari hal tersebut.
5.
Sebagai Bentuk
Kontrol Pengawasan dari Masyarakat
Setiap orang atau lembaga yang bertindak tanpa
adanya pemgawasan, maka akan bertingkah laku dengan semena-mena. Begitu pula
dengan pers yang seharusnya mendapat pengawasan dari masyarakat. Dalam alam
demokrasi, kebhinekaan nilai-nilai haruslah dihormati. Sehingga pandangan
masyarakat terhadap sebuah persepsi yang keliru, harus pula dihormati.
6.
Pelaksanaan
I’tikad Baik Pers
Pers
harus beritikad baik dan tidak boleh beritikad buruk. Namun tidak menutup
kemungkinan melakukan sebuah kekeliruan. Baik dalam penyajian data, fakta,
keterangan, maupun dalam mempresepsikan atau mengkonstruksikan sebuah berita.
Pers yang professional dan beritikad baik akan menampik kenyataan ini dan
bersedia melengkapi atau memperbaiki. Hak jawab adalah sebuah mekanisme yang
disediakan untuk melengkapi kekurangan yang ada dan melakukan perbaikan atas
kekeliruan sebuah pemberitaan.
D. Fungsi
Pers
Undang-undang
pers mengamanatkan agar melaksanakan lima fungsi sebagai berikut[3]:
1) Media
informasi, menyampaikan informasi berdasarkan fakta dan kebenaran.
2) Media
edukasi, menyampaikan informasi yang mencerdaskan.
3) Media
juga berfungsi member hiburan, yang menambah kulaitas kehidupan. Tidak
memberitakan atau menyiarkan penggambaran tingkah laku secara erotis dengan
foto, gambar,suar grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan
nafsu birahi.
4) Media
berfungsi sebagai kontrol sosial.
5) Media
berfungsi sebagai lembaga ekonomi, artinya perusahaan pers, media cetak maupun
media elektronik hidup berdasar atas kekuatan sendiri. Media yang hidup dari
amplop para pejabat, polisi dan pengusaha jelas tidak sesuai dengan fungsi
ini.
E. Kode Etik Jurnalistik
Istilah
etika berasal dari bahasa Yunanai kuno yaitu “ethos” yang bermakna adat,
akhlak, watak, sikap. Bentuk jamak dari ethos adalah “ta,etha” artinya “adat, kebiasaan” jadi secara
etimologis, etika berarti ilmu tentang apa yang yang biasa dialakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan.[4]
Kata
“etika” bila dipahami dari segi prefesi selalu dikaitkan dengan “kode” sehingga
menjadi “kode etik” sebagai satu kesatuan istilah. Kata “kode” berasal dari
bahasa Inggris yaitu “code” yang berarti himpunan ketentuan atau
peraturan atau petunjuk yang sistematis. Sehingga apabila kedua kata itu
digabungkan, menjadi himpunan atau kumpulan etika. Maka Kode Etik Jurnalistik
bermakna himpunan etika di bidang jurnalistik.[5]
Menurut Pasal 1 ayat (14) UU No 40 Tahun 1999 Kode Etik Jurnalistik adalah
himpunan etika profesi kewartawanan.
Kode
Etik Jurnalistik yang dilahirkan pada 14 Maret 2006 oleh gabungan 29
oerganisasi pers dan berlaku secara nasional melalu Keputusan Dewan Pers No
03/SK-DP/III/2006 tanggal 24 Maret 2006, setidaknya mencerminkan empat asas,
yaitu:
a. Asas
demokratis. Asas ini tercermin dari:
·
Berita harus
disiarkan secara berimbang.
·
Wartawan harus
bersikap independen.
·
Pers wajib
melayani hak jawab.
·
Pers wajib
melayani hak jawab dan hak koreksi.
b. Asas
profesionalitas, asas ini tercermin dari:
·
Pers harus
membuat dan menyiarkan berita yang akurat.
·
Pers harus
menghasilkan berita yang factual.
·
Wartawan tidak
melakukan plagiat.
·
Wartawan harus
dapa menunjukkan kepada narasumber kecuali dalam kasus investigatif.
·
Pers selalu
menguji (cek and ricek) informasi yang ada.
·
Pers tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi.
·
Pers menghargai
ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record.
·
Pers segera
mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan
maaf.
c. Asas
moralitas. Asas ini tercermin dari:
·
Pers tidak
beritikad buruk.
·
Pers menghormati
hak-hak pribadi atau privasi orang lain.
·
Pers menghormati
pengalaman traumatic narasumber.
·
Pers tidak
membuat berita cabul atau sadis.
·
Pers tidak
menyebut identitas korban atau pelaku kejahatan anak-anak.
·
Pers tidak
menyebut identitas korban kesusilaan.
·
Wartawan tidak
meneria suap.
·
Wartawan tdak
menyalahgunakan profesi.
·
Wartawan segera
meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran yang berita tidak akurat atau
keliru.
·
Pers tidak
menulis dan menyiarkan berita berdasarkan dikriminasi SARA , jender, dan bahasa.
·
Pers tidak
merendahkan orang miskin dan orang cacat (jiwa maupun fisik).
d. Asas
supremasi hukum. Asas ini tercermin dari:
·
Pers menerapkan
asas praduga tidak bersalah.
·
Pers tidak
membuat berita bohong dan fitnah.
·
Wartawan tidak
boleh melakukan pelagiat.
·
Pers memiliki
hak tolak.
F. Unsur
Delik dalam Undang-Undang Pers
Delik
pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 hanya terdapat dalam satu Pasal
saja. Yaitu terdapat dalam Pasal 18 yang terdiri dari 3 ayat. Dalam rumusan
Pasal tersebut setidaknya terdapat tujuh pelanggaran. Yaitu sebagai berikut[6]:
1)
Setiap orang
yang melakukan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Hal ini sesuai
dengan Pasal 18 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (2) yang unsur-unsurnya yaitu:
a.
Setiap orang
b.
Secara melawan
hukum.
c.
Dengan sengaja.
d. Melakukan
tindakan pembredelan atau pelarangan penyiaran (melakukan tindakan yang
menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) (“ terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau larangan
penyiaran”)
2)
Setiap orang
yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) jo pasal 4 ayat (3) yang unsur-unsurnya:
a. Setiap
orang.
b. Secara
melawan hukum.
c. Dengan
sengaja.
d. Melakukan
tindakan yang menghambat pers mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan.
3)
Perusahan pers
yang tidak menghormati norma-norma agama, kesusilaan dan asas praduga tak
bersalah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1
yang unsur-unsurnya adalah:
a. Perusahaan
pers (badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi
perusahaan media cetak, media elektronik, serta kantor berita serta perusahaan
media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan
informasi”)
b. Melanggar
ketentuan Pasal 5 ayat (1) (pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa
dan opini dengan menghormati:
·
Norma-norma
agama
·
Rasa kesusilaan
masyarakat
·
Serta asas
praduga tak bersalah.
4)
Perusahaan pers
yang melanggar kewajiban untuk melayani hak jawab. Hal ini sesuai dengan Pasal
18 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (2) yang unsur-unsurnya adalah:
a. Perusahaan
pers
b. Melanggar
ketentuan Pasal 5 ayat (2) (pers wajib melayani hak jawab)
5)
Perusahaan pers
yang melanggar pemuatan iklan yang dilarang. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 ayat
(2) jo Pasal 13 yang unsur-unsurnya adalah:
a. Perusahaan
pers.
b. Melanggar
ketentuan Pasal 13 (perusahaan pers dilarang memuat iklan:
·
Yang berakibat
merendahkan suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat Bergama,
serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
·
Minuman keras,
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
·
Peragaan wujud
rokok dan atau penggunaan rokok”)
Pada pelanggaran
yang tercantum pada nomor 1 dan 2 dijatuhi pidana penjara 2 tahun dan denda 500
juta rupiah sedangkan pelanggran yang tercantum pada nomor 3, 4, dan 5 hanya
dikenai denda sebanyak Rp.500 juta.
6)
Perusahaan pers yang melanggar tidak berbadan
hukum Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (3) jo Pasal 9 ayat (2)
yang unsur-unsurnya adalah:
a. Perusahaan
pers.
b. Melanggar
ketentuan Pasal 9 ayat (2).
7)
Perusahaan pers
yang melanggar ketentuan mengumumkan identitas (nama, alamat, dan penanggung
jawab) media secara terbuka. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (3) jo Pasal
12 yang unsur-unsurnya:
a. Perusahaan
pers.
b.
Melanggar
ketentuan Pasal 12.
Kedua pelanggaran yang terkahir ini hanya
diancam dengan pidana denda paling banyak Rp.100 juta.
[1] Wina Armada Sukardi,Keutamaan
di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers,(Jakarta:Dewan Pers,2007),cet
pertama,hal 2
[3]
Problematika Kemerdekaan Pers di Indonesia,(Jakrta:UNESCO
dan Dewan Pers,2009),cet pertama,hal 4
[4] Sudirman Tebba,Etika Media
Massa Indonesia,(Tangerang:Pustaka Irvan,2008)cet 1,hal 9
[5] Wina Armada Sukardi,op cit,hal
136
[6]Ibid,hal 122
2 komentar:
Makasih infonya..
Informasi ini sangat mendukung pemahaman tentang dunia media masa dalam merajut wawasan. Makasih infonya
Posting Komentar