A.
Kriteria
Hukum Islam
Berdasarkan definisi bahwa hukum syar’i yaitu titah
Allah yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan, dan
ketentuan, maka kriteria hukum syara’ terbagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Titah
Allah yang berbentuk tuntutan atau pilihan, yang disebut hukum taklifi.
Penamaan hukum ini dengan taklifi karena titah disini langsung mengenai
perbuatan orang yang sudah mukallaf.
b. Titah
Allah yang berbentuk wadh’i yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan
Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya
waktu dzuhur.[1]
1. Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang berbentuk tuntutan
atau pilihan. Dari segi apa yang dituntut, hukum taklifi terbagi kepada dua
bagian, yaitu tuntutan untuk memperbuat dan tuntutan untuk meninggalkan.
Sedangkan dari segi bentuk tuntutan juga terbagi kepada dua, yaitu tuntutan
secara pasti dan tuntutan secara tidak pasti. Adapun pilihan, terletak antara
memperbuat dan meninggalkan. Dengan demikian hukum taklifi itu ada lima macam,
yaitu:
a. Tuntutan
untuk memperbuat secara pasti, yaitu hukum yang dituntut tersebut harus
dijalankan atau diperbuat dan tidak boleh ditinggalkan. Sehingga orang yang
memperbuat layak mendapat ganjaran dan orang yang meniggalkan layak mendapat
ancaman dari Allah. Hukum taklifi dalam bentuk ini disebut wajib. Contohnya
shalat.
b. Tuntutan
untuk memperbuat secara tidak pasti, artinya perbuatan itu dituntut untuk
dilaksanakan. Atas orang yang melaksanakan, berhak mendapat ganjaran akan
kepatuhannya, tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan, tidak apa-apa. Sehingga
orang yang meninggalkan tuntutan ini tidak mendapat dosa. tuntutan hukum
semacam ini disebut dengan an- nadb النب sedangkan
perbuatannya disebut dengan mandub (المندوب).
c. Tuntutan
untuk meninggalkan secara pasti. Artinya orang yang dituntut harus meninggalkan
perbuatan tersebut. Jika seseorang telah meninggalkan perbuatan tersebut,
berarti ia telah patuh pada aturan hukum tersebut. Oleh karena itu, ia layak
untuk mendapat ganjaran atas perbuatannya itu dalam bentuk pahala. Orang yang
tidak meninggalkan larangan tersebut berarti menyalahi atau melanggar ketentuan
hukum tersebut. Sehingga orang tersebut patut untuk mendapat dosa. Tuntutan
dalam bentuk ini disebut tahrim, sedangkan perbuatan yang secara pasti
dilarang, disebut haram.
d. Tuntutan
untuk meninggalkan perbuatan atau larangan secara tidak pasti dengan arti masih
dimungkinkan ia tidak meninggalkan larangan tersebut. Orang yang meninggalkan
perbuatan ini layak mendapat pahala, namun karena tidak pastinya larangan ini,
maka yang tidak meninggalkan larangan ini tidak dapat pula disebut pula
menyalahi yang melarang. Larangan dalam bentuk ini disebut karahah sedangkan
perbuatannya disebut dengan makruh. Seperti merokok.
e. Titah
Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan, karena baik orang
tersebut mengerjakan atau meninggalkan tidak memiliki efek ancaman dosa bagi
yang melanggarnya, dan tidak terdapat pahala bagi orang yang mengerjakannya.
Hukum dalam bentuk ini disebut al-ibahah sedangkan perbuatannya disebut mubah.
Contohnya melakukan perburuan setelah melaksanakan tahallul pada pelaksanaan
ibadah haji.[2]
Beberapa jenis hukum taklifi yang disebut di atas
merupakan hukum yang disepakati oleh jumhur ulama. Disebut juga hukum yang lima
atau al-ahkam al-khamsah ( الاحكم الخمسة).
2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i ialah ketentuan hukum berkenaan dengan
perbuatan sebagai sebab atau syarat. Atau dapat pula dikatakan sebagai
ketentuan yang menjadi sebab akan sah batalnya ataupun kewenangannya melakukan
perbuatan. Seperti dikatakan bahwa perbuatan membunuh menjadi sebab adanya
hukuman qishash. Sehingga hukuman qishash adalah hukum wadh’i karena adanya
tindak pidana pembunuhan.[3]
Hukum wadh’i terbagi atas beberapa macam, yaitu:
a. Sesuatu
yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi. Bila
sebab itu terdapat, berlangsunglah hukum taklifi dan seandainya sebab itu tidak
ada, maka hukum taklifi dianggap tidak ada. Hukum wadh’i dalam bentuk ini
disebut “sebab”. Seperti kewajiban shalat maghrib dikaitkan dengan tenggelamnya
matahari. Tenggelamnya matahari disebut menjadi sebab dari hukum taklifi yaitu
kewajiban menjalani shalat maghrib.
b. Sesuatu
yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi.
Bila syarat itu belum terpenuhi, maka kewajiban belum ada atau perbuatan belum
dianggap ada. Adanya wudhu menjadi syarat adanya perbuatan shalat. Hukum wadh’i
dalam bentuk ini disebut “syarat”.
c. Sesuatu
yang dijadikan pembuat hukum sebagai penghalang akan berlangsungnya hukum
taklifi. Bila hal tersebut ada pada pelaksanaan hukum taklifi, maka hukum
taklifi itu menjadi tidak berlaku. Hukum wadh’i ini disebut mani’ (الما
نع ). Contohnya
seorang wanita yang sedang haid tidak memiliki kewajiban untuk shalat dan
puasa. Haidnya tersebut menjadi penghalang akan kewajiban melaksanakan shalat
dan puasa yang merupakan hukum taklifi[4].
Termasuk ke
dalam kelompok hukum wadh’i juga hal-hal yang menjadi akibat dari pelaksanaan
hukum taklifi dalam hubungannya dengan hukum wadh’i, yaitu:
a. Sah,
yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya
sebab, sudah terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari
segala mani’. Seperti sahnya shalat dzuhur setelah wudhu dan dilakukan oleh wanita
yang tidak berhalangan seperti haid atau halangan lainnya atau terpenuhinya
syarat-syarat akan sahnya perbuatan tersebut.
b. Batal,
yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat
atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat mani’ (penghalang). Seperti batalnya
shalat maghrib sebelum tergelincirnya matahari atau tidak berwudhu sebelum
melaksanakan shalat. Atau sudah ada keduanya tetapi dilakukan oleh wanita yang
sedang haid.
Termasuk pula dalam pembahasan hukum wadh’i dalam hal pelaksanakan hukum taklifi dalam
hubungannya dengan dalil yang mengaturnya. Seperti:
a. Azimah,
yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada
keadaan mukallaf yang melaksanakannya. Seperti haram memakan bangkai untuk
semua orang Islam.
b. Rukhsah,
yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai
pengecualian dari dalil umum karena keadaan tertentu. Seperti diperbolehkannya
seseorang memakan bangkai dalam keadaan darurat, meskipun secara umum memakan
bangkai itu diharamkan
B.
Kriteria Hukum Positif
Kriteria
hukum positif dapat dibagi atau digolongkan berdasarkan asas pembagian yaitu:
Menurut
sumbernya, hukum terbagi dalam:
a. Hukum
Undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam perundang-undangan.
b. Hukum
kebiasaan (adat), yaitu hukum yang terletak dalam peraturan kebiasaan-kebiasaan
(adat).
c. Hukum
traktat, yaitu hukum yang ditentukan oleh Negara-negara di dalam perjanjian
antara Negara (traktat).
d. Hukum
yurisprudensi, yaitu hukum yang terletak pada keputusan hakim[5].
Menurut
bentuknya, hukum dapat dibagi ke dalam:
a. Hukum
tertulis. Hukum ini terbagi pula dalam dua bentuk, yaitu:
·
Hukum tertulis
yang dikodifikasikan.
·
Hukum tertulis
yang tidak dikodifikasikan.
b. Hukum
tak tertulis (hukum kebiasaan)
Menurut
tempat berlakunya, hukum terbagi ke dalam:
a. Hukum
nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara.
b. Hukum
Internasional, yaitu hukum yang berlaku dalam dunia internasional.
c. Hukum
asing, yaitu hukum yang berlaku dalam negara asing atau hukum dalam negara lain.
Menurut
waktu berlakunya, hukum terbagi ke dalam:
a. Ius
constitutum (hukum positif) yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu
masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
b. Ius
constituendum yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.
c. Hukum
asasi (hukum alam), yaitu hukum yang berlaku di mana-mana dalam segala waktu
dan untuk segala bangsa di dunia. Hukum ini tak mengenal batas waktu melainkan
berlaku untuk selama-lamanya (abadi) terhadap siapapun juga di seluruh tempat.
Menurut
cara mempertahankannya hukum terbagi ke dalam:
a. Hukum
material, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur
kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah
dan larangan-larangan. Contoh: hukum pidana dan hukum perdata.
b. Hukum
formal, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana
cara-cara melaksanakan dan mempertahankan
hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana caranya
mengajukan perkarake muka pengadilan dan bagaimana caranya hakim dapat memberi
keputusan. Contoh: Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.
Menurut
sifatnya, hukum terbagi ke dalam:
a. Hukum
yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan manapun juga harus dan memiliki
paksaan mutlak.
b. Hukum
yang mengatur (hukum pelengkap), yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila
pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.
Menurut
wujudnya, hukum terbagi ke dalam:
a. Hukum
obyektif, yaitu hukum dalam suatu Negara yang berlaku umum dan tidak mengenai
orang atau golongan tertentu. Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja
yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih.
b. Hukum
subyektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku terhadap
seorang tertentu atau lebih. Hal ini disebut juga dengan hak.
Menurut isinya, hukum terbagi ke dalam:
a. Hukum
privat (hukum sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang
yang satu dengan orang yang lainnya dengan menitikberatkan kepada kepentingan
perseorangan.
b. Hukum
publik (hukum negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan
alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan perseorangan(warga
negara).[6]
[1] H.Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh
Jilid I,(Jakarta: Kencana,2008),edisi pertama,cet ketiga,hal 310
[2]
H.Amir Syarifuddin,Ushul
fiqh Jilid I,hal 311
[3]
Sobhi Mahmassani,Filsafat
Hukum Dalam Islam,(Bandung: Al-Ma’arif,1981),cet kedua,hal 25
[4]
H.Amir Syarifuddin,Ushul
fiqh Jilid I,hal 314
[5] C.S.T Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,1989),cet ke 8,hal 73
[6]
Pipin Syarifin,Pengantar
Ilmu Hukum,(Bandung: CV Pustaka Setia,1999),cet 1,hal 232
0 komentar:
Posting Komentar