Meski
aku terkungkung di sini, namun kalimat ini akan menciptakan sayapnya sendiri
dan terbang mengangkasa bersama teriakan-teriakan wajah-wajah yang peduli
dengan kondisi bangsa dan tak tinggal diam seperti kumpulan itik yang di giring
petani.
Mereka berteriak,
mereka merangkak bermandikan terik matahari. Berjalan seperti koloni semut yang
merayap menyerbu pepohonan. bendera-bendera itu berkibar setelah tertampar
angin kemarau. Rambut mereka pun telah kuyup oleh
keringat dan usang oleh terpaan sang surya. Berbagai warna, namun mereka menuju satu arus yang sama. Melawan kebijakan penguasa yang sudah lama tak sejalan dengan mereka atau dengan nuraniku sendiri. Kami bukan pemberontak, kami bukan kaum pembangkang, tetapi kami juga memantapkan hati untuk tidak mengangguk dengan segala apapun yang penguasa perintahkan. Kami hanya patuh sepenuhnya kepada Tuhan. Kami hanya berontak pada ketidakadilan yang mulai menyusupi kehidupan kami, ketidakberpihakkan penguasa pada kemakmuran rakyatnya. Membuang wajahnya dan seolah tak sudi melihat keberadaan kami. Hari ini kami berjalan, hari ini kami berteriak. Hari ini akan menjadi saksi bahwa sepasang bola mata ini sempat dirasuki gas air mata, dan tubuh ini koyak oleh hantaman dari aparat. Ku lihat mereka seperti ombak. Menyerbu pantai dengan buihnya, lalu seketika mundur ke tengah lautan. Namun sesaat itu juga mereka kembali menyerbu dengan dengan peluh dan teriakan. Panas terik sang mentari pun menyerah di hadapan mereka, senja pun tak kuasa membendung mereka. Kobaran api perjuangan dan perubahan sudah dari kemarin membuncah di ujung nurani mereka. Masih-masing dari jiwa itu mewakili jiwa-jiwa di belakang mereka. Jiwa yang sesungguhnya masih terjajah oleh nasib, teracuhkan dari belaian lembut pemerintah yang menaunginya. Lalu seolah jiwa itu terbang dan merasuki para agen perubahan itu. Hingga malam merayapi langit bumi, semangat-semangat perjuangan itu masih menyala dalam gelap dan suramnya bumi pertiwi.
keringat dan usang oleh terpaan sang surya. Berbagai warna, namun mereka menuju satu arus yang sama. Melawan kebijakan penguasa yang sudah lama tak sejalan dengan mereka atau dengan nuraniku sendiri. Kami bukan pemberontak, kami bukan kaum pembangkang, tetapi kami juga memantapkan hati untuk tidak mengangguk dengan segala apapun yang penguasa perintahkan. Kami hanya patuh sepenuhnya kepada Tuhan. Kami hanya berontak pada ketidakadilan yang mulai menyusupi kehidupan kami, ketidakberpihakkan penguasa pada kemakmuran rakyatnya. Membuang wajahnya dan seolah tak sudi melihat keberadaan kami. Hari ini kami berjalan, hari ini kami berteriak. Hari ini akan menjadi saksi bahwa sepasang bola mata ini sempat dirasuki gas air mata, dan tubuh ini koyak oleh hantaman dari aparat. Ku lihat mereka seperti ombak. Menyerbu pantai dengan buihnya, lalu seketika mundur ke tengah lautan. Namun sesaat itu juga mereka kembali menyerbu dengan dengan peluh dan teriakan. Panas terik sang mentari pun menyerah di hadapan mereka, senja pun tak kuasa membendung mereka. Kobaran api perjuangan dan perubahan sudah dari kemarin membuncah di ujung nurani mereka. Masih-masing dari jiwa itu mewakili jiwa-jiwa di belakang mereka. Jiwa yang sesungguhnya masih terjajah oleh nasib, teracuhkan dari belaian lembut pemerintah yang menaunginya. Lalu seolah jiwa itu terbang dan merasuki para agen perubahan itu. Hingga malam merayapi langit bumi, semangat-semangat perjuangan itu masih menyala dalam gelap dan suramnya bumi pertiwi.
Disini
aku bimbang, disini aku terombang ambing oleh gumpalan asap-asap penuh tanda
tanya. Alam kita, Indonesia begitu kaya sejak sang garuda belum mengenal sistem
pemerintahan presidensiil. Ketika berbagai kerajaan berdiri kokoh di nusantara,
negeri ini begitu kaya dengan hasil alamnya. Tuhan mengizinkan bumi Indonesia
untuk melahirkan kekayaan alam yang membuat imperialisme Belanda dan
negara-negara asing lainnya menitikkan air liur mereka dengan alam kita. Bahkan
tanah kita disebut sebagai tanah surga, yang membuat apapun yang ditanamnya
menjadi tumbuhan, bahkan batu dan kayu sekalipun. Kini, di mana surga itu? di
mana kemerdekaan yang kita teriakkan sejak 67 tahun silam. Negara yang kaya akan alamnya, namun
miskin di hadapan dunia. Hanya mampu bertekuk lutut di bawah kaki “patung
Liberty”.
Aku tak
ingin menangis pilu di bawa sayap garuda, namun aku dan kita semua berharap
garuda kembali mengepakkan sayapnya dan terbang mengitari bumi dan meneriakkan
bahwa kita BISA tuk menjadi lebih baik lagi. Tak ada kemerdekaan tanpa tumpahan
darah dan nyawa atau hantaman bambu runcing.
0 komentar:
Posting Komentar