Pages

Sejarah Pertumbuhan, Penulisan, dan Kodifikasi Hadis



 
A.  Larangan Penulisan Hadits (Masa Nabi Saw 13 SH -11 H)
Sejarah Kodifikasi Hadis
Pada masa Nabi Saw perhatian para sahabat lebih dikonsentrasikan pada Al-Qur’an. Diantara para sahabat yang telah pandai catat mencatat ditugasi beliau untuk menulis Al-Qur’an dan kemudian disimpan dibilik Aisyah sebagai dokumentasi. Penulisan Al-Qur’an pada waktu itu masih sangat sederhana yakni ditulis diatas pelepah kurma,kulit binatang, dan batu-batuan dengan menggunakan tangan beberapa orang sahabat yang sangat minim jumlahnya yang bisa menulis. Kondisi hadits pada saat itu secara umum tidak tercatat bahkan secara umum dilarang oleh Rasulullah untuk menulisnya. Hadits hanya dihapal mayoritas sahabat kemudian disampaikan pada sesamanya yang belum mendengar atau belum mengetahuinya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majlis Nabi dan tidak seluruhnya menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan didengar dari Rasulullah baik ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits dari Rasulullah.

Ketika hujan di hujat


          Air adalah kebutuhan utama untuk kelangsungan hidup segala organisme di dunia ini. Manusia, hewan, tumbuhan, bahkan tanah-tanah yang ada di bumi pun memerlukan air baik sebagai penyimpanan cadangan air dan sebagainya. Bahkan air dijadikan tanda-tanda adanya kehidupan ketika para ilmuwan Amerika menghebohkan dunia dengan ditemukannya air di planet Mars. Begitulah kiranya air dipandang sebagai penopang suatu kehidupan.
          Oleh karena itu patut kita sadari bahwa hujan sebagai air yang secara alamiah turun dari langit. Namun, bagi kita yang memiliki Tuhan, tentunya air dikatakan sebagai salah satu bentuk kasih sayang Tuhan pada makhluk-Nya di bumi. Karena hujan, tanah-tanah menjadi subur. Tumbuh-tumbuhan tidak ada yang kekeringan. Manusia dengan keluarbiasaan ilmunya dapat menggunakan air yang tersimpan di dalam tanah sebagai hasil dari hujan untuk keperluannya sehari-hari. Oleh karena itu, air sebagai penopang kehidupan sudah tidak bisa ditawar lagi. Namun bagaimanakah ketika orang memandang hujan sebagai bencana?.

Nikmat yang terkadang disepelekan


Nikmatnya Bernafas
          “nikmat”, sebuah kata yang mungkin selalu dirasakan oleh manusia, atau mungkin makhluk selain manusia. Nikmat identik dengan sesuatu yang menyenangkan atau membahagiakan. Siapa yang tidak suka dengan “nikmat”?. Semua orang pasti suka dengan nikmat. Baik itu nikmat kesehatan, nikmat rezeki, naik jabatan, naik gaji, atau nikmatnya ketika kita menyantap makanan favorit kita dan lain-lain yang kita anggap sebagai kenikmatan.
          Begitu banyak nan melimpah kenikmatan yang berada di sekitar kita. Atau bahkan yang kini melekat di dalam tubuh kita yang terkadang tanpa kita sadari karena kita sering menyepelekannya.

Ketika zaman menggempur dunia anak

            Bintang kecil di langit yang biru, amat banyak menghias angkasa.

Sebaris lirik sederhana itu begitu saja melintas dipikiranku tanpa permisi. Sejenak aku mengingat lirik lagu itu sekitar tahun 90-an. Di antara kalian mungkin lupa atau sedikit ingat atau mungkin sangat ingat lirik lagu tersebut. Lirik itu pun seolah menari-nari di pikiranku saat malam memang tengah bercumbu dengan bintang. Namun, zaman yang semakin bergelimpangan dengan alam pikiran “modern” sepertinya telah menggerus lirik itu dengan perlahan namun pasti. Dahulu, lagu itu sempat hilir mudik di antara mulut-mulut mungil anak-anak kecil yang sedang berkumpul di pinggir jalan dengan mainan yang mungkin saat ini disebut “ketinggalan jaman”. Tapi saat ini, bocah-bocah itu mungkin sudah sungkan tuk mendendangkan lagu yang menurutku “pantas” untuk mereka.

Cara Sederhana Menyikapi Masalah



Menyikapi Masalah
          Setiap lingkar kehidupan selalu diiringi dengan masalah. Terkadang, masalah itu seperti angka delapan yang tak memiliki ujung. Setiap ia hilang, maka ia akan berganti dengan masalah baru. Sulit, mudah, bahagia, sedih, dan lain sebagainya adalah bagian dari masalah yang harus kita hadapi. Jangankan seorang yang masih diberikan izin oleh-Nya untuk menghirup nafas, orang yang sudah meninggal dunia pun memiliki masalahnya sendiri, yaitu mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya semasa hidup di dunia. Sementara kita yang masih diberikan kehidupan, tentunya permasalahan tak akan sungkan mendekati kita.

BBM Melambung, Kami Terpancung


Demo BBM
Meski aku terkungkung di sini, namun kalimat ini akan menciptakan sayapnya sendiri dan terbang mengangkasa bersama teriakan-teriakan wajah-wajah yang peduli dengan kondisi bangsa dan tak tinggal diam seperti kumpulan itik yang di giring petani.
Mereka berteriak, mereka merangkak bermandikan terik matahari. Berjalan seperti koloni semut yang merayap menyerbu pepohonan. bendera-bendera itu berkibar setelah tertampar angin kemarau. Rambut mereka pun telah kuyup oleh

Sebuah Sayap



         Kini, satu detik terasa begitu lama untukku. Waktu kian terasa lambat ku lewati. Jika aku seekor burung, maka aku bagaikan kehilangan sebuah sayapku. Aku seolah tak mampu terbang, dan selalu jatuh tatkala aku mencoba kembali menggapai awan putih. Aku pun hanya mampu merangkak menggapai cahaya. Beringsut di antara debu yang mengaliri takdirku. Ketika jiwaku terseret jasmani di tengah hutan, maka aku sepertinya tak akan bisa menghindar dari terkaman binatang buas. Mungkin lebih baik “hidup” dalam sebuah pencernaan hewan buas dari pada ku menghirup sesak udara dunia. Aku tak membutuhkan mentari tuk hangatkan jalanan terjal atau semilir angin yang menyapu dedaunan kering sisa musim gugur, aku hanya membutuhkan sebuah sayap agar ku mampu kembali merajut asa di tengah hamparan langit biru. Menemaniku terbang ke sana kemari menembus awan atau menggapai bintang atau mungkin bercinta dengan rembulan yang sedang purnama.

Hilang

          Ku ukir kalimat-kalimat sederhana ini bersama rintik hujan yang mengelitik manja bumi yang gersang. Hujan adalah rahmat… begitulah Tuhan berfirman… ku sebut “Tuhan” karena ku harap tulisan ini akan mengalir tanpa mengenal siapa dan apa agama mereka. Agak tertawa ku rasa dalam hati, ketika aku tak menjumpai tujuan untuk apa aku mengurai kata-kata ini. Yang jelas, hidup terlalu rumit untuk sekedar ku rangkai dengan kata. Aku hanya ingin ada seseorang selain Tuhan yang mengetahui tentang sesuatu yang berada di balik jubah kehidupanku.