Tindak pidana korupsi, menjadi salah satu
permasalahan bangsa Indonesia. Karena tindak pidana ini, Indonesia telah banyak
menelan kerugian karena pihak-pihak yang sangat tidak amanah dalam mengemban
jabatan dan kekuasaan.
Dalam mengatasi tindak pidana korupsi yang telah
menggurita dan menginfeksi seluruh rongga kehidupan bangsa, para wakil rakyat
dan intelektual negeri ini mencoba menciptakan sebuah instrumen hukum yang
diwujudkan dengan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Segala
tipe-tipe korupsi dan sanksi hukumannya telah dirumuskan dalam Undang-Undang
ini. Sehingga dengan terciptanya Undang-Undang ini, diharapkan dapat menekan
laju perilaku korupsi yang semakin sulit untuk dibendung.
Lalu bagaimana dengan hukum pidana Islam dalam hal
mengatasi tindak pidana korupsi?. Sebagai sebuah agama yang telah disempurnakan
Allah melalui hambaNya yang sangat mulia yaitu Rasulullah, Islam telah
memberikan pandangan mengenai tindak pidana korupsi. Karena jenis tindak pidana
ini, memang telah terjadi pada masa Rasulullah Saw. Meski tidak disebutkan
secara tegas mengenai sanksi pidana korupsi dalam hukum Islam, namun Islam
selalu memberikan jawaban atas setiap permasalahan. Yaitu dengan hukuman takzir
yang identik dengan hukuman yang berdasarkan kebijakan hakim dengan melihat
kemaslahatan masyarakat.
A. Definisi Korupsi
Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa
latin yaitu corruption atau corruptus. Selanjutnya, kata corruption
itu pun berasal dari kata corrumpere, yaitu suatu kata latin yang lebih
tua. Dari bahasa latin itulah kemudian turun kepada bahasa Eropa seperti
Inggris, yaitu corruption, corrupt. Dalam bahasa Prancis yaitu corruption,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut sebagai corruptie. Dari bahasa
Belanda itulah kemungkinan telah diserap ke dalam bahasa Indonesia yaitu
korupsi.[1]
Kata corruptio atau corruptus yang berarti kerusakan atau
kebobrokan yang pada mulanya pemahaman masyarakat menggunakan bahasa yang
berasal dari Yunani yaitu corruption yang berarti perbuatan tidak baik,
curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian.
Secara harfiah, pengertian korupsi dapat berarti:
a. Kejahatan,
kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran.
b. Perbuatan
yang buruk seperti pengelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
Menurut Transparency International
mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan
kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi. Dalam definisi tersebut terdapat
tiga unsur, yaitu:
a. Menyalahgunakan
kekuasaan.
b. Kekuasaan
yang dipercayakan (baik dalam sektor publik maupun swasta).
c. Keuntungan
pribadi (dalam konteks ini, pribadi dapat pula dimaksudkan kepada keluarga atau
teman-temannya).[2]
Dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 mendefinisikan
tindak pidana korupsi di dalam Pasal 2 dan 3, yaitu:
1. Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 2 ayat 1).
2. Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 3).
B. Definisi dan Jenis Tindak Pidana Korupsi Perspektif
Hukum Islam
Islam mengistilahkan korupsi dalam beberapa
etimologi sesuai jenis atau bentuk korupsi yang dilakukan, diantaranya:
a. Risywah, yaitu suap menyuap
atau pungutan-pungutan liar dengan kesepakatan kedua belah pihak.
b. Al-Ghasbu, yaitu apabila
pungutan liar yang telah disebutkan di atas bersifat memaksa. Seperti apabila
seseoarang tidak memberikan sejumlah uang, maka urusannya akan dipersulit. Hal
ini pun dapat disebut sebagai pungutan liar (al-maksu).
c. Mark up atau penggelembungan
dana dalam berbagai proyek disebut sebagai penipuan (al-ghurur).
d. Pemalsuan
data disebut dengan al-khiyanah.
e. Penggelapan
uang negara dapat dikategorikan sebagai al-ghulul.
Pertama, risywah menurut bahasa adalah sesuatu
yang dapat menghantarkan tujuan dengan segala cara agar tujuan tersebut dapat
tercapai. Definisi tersebut diambil dari kata rosya yang bermakna tali
timba yang dipergunakan untuk tali timba dari sumur. Sedangkan ar-raasyi
adalah orang yang memberikan sesuatu kepada pihak kedua untuk mendukung maksud
jahat dari perbuatannya. Lalu ar-roisyi adalah mediator atau penghubung
antara pemberi suap dan penerima suap, sedangkan penerima suap disebut sebagai al-murtasyi.[3]
Menurut Dr. Yusuf Qaradhawi mendefinisikan risywah
yaitu sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau
jabatan (apa saja) untuk menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan
lawan-lawannya sesuai dengan apa-apa yang diinginkan atau untuk memberikan
peluang kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan lawan-lawannya.
Dari definisi yang diungkapkan di atas, bahwa
risywah adalah bagian dari tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap
menyuap kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau wewenang agar tujuannya
dapat tercapai atau memudahkan kepada tujuan dari orang yang menyuapnya
tersebut. Salah satu bagian dari bentuk korupsi inilah yang telah merusak moral
dan struktur keadilan dalam setiap lini kehidupan masyarakat. Karena dengan
suap menyuap, keadilan dalam proses hukum tidak dapat tercapai atau dapat
memengaruhi keputusan seorang hakim dengan nominal uang yang dapat menggetarkan
iman seorang penegak hukum. Bahkan suap menyuap yang dikenal oleh masyarakat
sebagai tindakan “menyogok” sudah biasa dilakukan, misalnya dalam kasus
pengendara sepeda motor yang kerapkali terkena tilang dari petugas kepolisian
lalu lintas. Maka dengan beberapa lembar uang, perkara pun telah selesai. Hal
inilah yang mengindikasikan bahwa risywah telah merasuk dalam berbagai
struktur masyarakat.
Kedua, al-ghulul yaitu perbuatan menggelapkan
kas negara atau baitul mal atau dalam literatur sejarah Islam menyebutnya
dengan mencuri harta rampasan perang atau menyembunyikan sebagiannya untuk
dimiliki sebelum menyampaikannya ke tempat pembagian. oleh karena itu,
perbuatan yang termasuk kepada kategori al-ghulul ialah:
a. Mencuri
ghanimah (harta rampasan perang).
b. Menggelapkan
kas negara.
c. Menggelapkan
zakat.
Ketiga, al-maksu adalah perbuatan memungut
cukai yakni mengambil apa yang bukan haknya dan memberikan kepada yang bukan
haknya pula. Perbuatan ini diidentikan kepada pungutan liar yang biasanya
terjadi ketika seseorang akan mengurus sesuatu yang kemudian dibebankan sejumlah
bayaran oleh pelaku pemungut cukai dengan tanpa kerelaan dari orang yang
dipungutnya tersebut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa apabila
pungutan tersebut tidak dipenuhi oleh korbannya, maka urusan orang tersebut
akan dipersulit oleh pelaku pemungut cukai. Inilahyang kemudian disebut dengan al-
maksu.[4]
C. Jenis dan Tipologi Korupsi Menurut Hukum Positif
Perangkat
hukum untuk delik korupsi yang terbentuk dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setidaknya
merumuskan tentang jenis dan tipologi korupsi, yaitu:
a. Tindak
pidana korupsi dengan memperkaya dari sendiri, orang lain, atau suatu korporasi
(Pasal 2).
b. Tindak
pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan kesempatan, sarana jabatan,
atau kedudukan (Pasal 3).
c. Tindak
pidana korupsi suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu (Pasal 5).
d. Tindak
pidana korupsi dan suap pada hakim dan advokat (Pasal 6).
e. Korupsi
pegawai negeri dengan menggelapkan uang dan surat berharga (Pasal 8).
f. Tindak
pidana korupsi pegawai negeri dengan memalsukan buku-buku dan daftar-daftar
(Pasal 9).
g. Tindak
pidana korupsi pegawai negeri yang merusakkan barang, akta, surat, atau daftar
(Pasal 10).
h. Korupsi
pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan
kewenangan jabatan (Pasal 11).
i.
Korupsi pegawai
negeri atau penyelenggara negara atau hakim dan advokat yang menerima hadiah
atau janji ; pegawai negeri memaksa, membayar atau memotong pembayaran, meminta
pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan turut serta melakukan pemborongan
(Pasal 12).
j.
Tindak pidana
korupsi pegawai negeri yang menerima gratifikasi (Pasal 12B).
k. Korupsi
suap pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan (Pasal 13).
l.
Tindak pidana
yang berkaitan dengan hukum acara pemberantasan korupsi.
m. Tindak
pidana pelanggaran terhadap Pasal 220, 231, 421, 429, dan 430 KUHP (Pasal 23) [5].
D. Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Dalam setiap
tindak pidana, tentunya selalu ada subjek yang akan dikenai pidana oleh
Undang-Undang yang dibuat tersebut. Menurut Undang-Undang No 39 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terdapat dua subjek terhadap tindak pidana korupsi yaitu
orang dan korporasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU PTPK), yaitu:
“(1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). “
Indikasi
mengenai bahwa hanya oranglah yang dapat dipidana sudah terendus dari perumusan
KUHP yang selalu dimulai dengan kata “barangsiapa” atau dalam Pasal yang
disebutkan di atas yang dimulai dengan kata “setiap orang”. Termasuk dalam kata
“orang” pun yaitu “pegawai negeri” sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 415,
416, dan 417 KUHP yaitu pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan untuk
seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan jabatan umum.
Sementara
itu, rumusan mengenai pegawai negeri memiliki cakupan yang begitu luas. Dalam
Pasal 1 sub 2 UU PTPK 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, pegawai negeri meliputi:
1. Pegawai
negeri sebagaimana yang disebut dalam Undang-Undang kepegawaian.
2. Pegawai
negeri sebagaimana yang disebut dalam KUHP.
3. Orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
4. Orang
yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau
5. Orang
yang menerima upah atau gaji dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat.[6]
Namun dalam sumber lain dikatakan bahwa pegawai
negeri yang disebutkan di atas dapat diperluas lagi tentang subjek yang
termasuk dalam pegawai negeri, yaitu[7]:
1. Pegawai
pada Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi.
2. Pegawai
pada Kementrian/Departemen dan Lembaga Pemerintahan Non Departemen.
3. Pegawai
pada Kejaksaan Agung RI.
4. Pimpinan
dan pegawai pada Sekretariat MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi/Daerah Tingkat II.
5. Pegawai
pada Perguruan Tinggi Negeri.
6. Pegawai
pada Komisi atau Badan yang dibentuk berdasarkan UU, Keputusan Presiden,
Sekretaris Kabinet (Sekab), dan Sekretaris Militer (Sekmil);
7. Pegawai
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
8. Pegawai
pada Badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan
Tata Usaha Negara);
9. Anggota
TNI dan POLRI serta Pegawai Negeri Sipil di lingkungan TNI dan POLRI;
10. Pimpinan
dan pegawai di Lingkungan Pemerintah Daerah DATI I dan DATI II.
Subjek
kedua yaitu korporasi yang didefinisikan oleh UU No. 20 Tahun 2001 yaitu:
“
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
ataupun bukan badan hukum.” (Pasal 1 sub 1)
Sementara
dalam Pasal 1 sub 3 disebutkan bahwa setiap orang adalah perseorangan atau
korporasi. Dimulai pada Pasal 2 sampai Pasal 16, 21, dan 22 menyebut pelaku
delik dengan kata “setiap orang “. Sehingga ketika UU menyebutkan “setiap orang”,
maka di dalamnya juga termasuk dalam korporasi.
Ketika
berbicara mengenai pemidanaan terhadap suatu perbuatan yang dianggap terlarang,
maka tentunya selalu diiringi dengan ancaman pidana di dalamnya. Untuk tindak
pidana korupsi, sebagaimana telah disebutkan mengenai jenis dan tipologi
mengenai tindak pidana dalam perspektif hukum positif, maka UU No. 39 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi, merumuskan ancaman pidana berdasarkan tipologi-tipologi delik korupsi,
yaitu:
1. Perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh perorangan atau korporasi atau kelompok yang
bertujuan untuk memperkaya diri sendiri yang dapat merugikan keuangan negara,
maka diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun dan
paling singkat 4 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). (Pasal
2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999)
Pada
suatu perbuatan pidana, tentunya selalu diikuti dengan unsur melawan hukum.
Sedangkan maksud melawan hukum dalam UU tersebut, adalah melawan hukum dalam
arti formil maupun materiil. Artinya, bahwa meskipun melawan hukum tersebut
tidak terdapat dalam UU, namun bertentangan dengan norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Kemudian,
dalam teks Undang-Undang tersebut terdapat kata-kata “memperkaya diri sendiri”
atau “orang lain” atau “suatu badan” bermakna kepada harta yang diperoleh yang
tidak sesuai dengan penghasiannya atau harta yang diperoleh dari sumber-sumber
yang tidak sah, yang kemudian memberi kewajiban kepada terdakwa untuk
menguraikan sumber kekayaannya tersebut. Modus operandi dalam memperkaya
tersebut dapat ditempuh melalui cara seperti membeli, menjual, mengambil,
memindahbukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya yang
mengakibatkan harta pelaku menjadi bertambah.
Lalu,
maksud daripada keuangan negara atau perekonomian negara adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yangtidak dipisahkan,
termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan yang timbul karena:
1. Berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara,
baik di tingkat pusat maupun daerah.
2. Berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertangungjawaban Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
meyertakan modal negara, atau perusahaan yan menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
Kemudian
yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang
disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargan atuapun usaha masyarakat secara mandiri yang
didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan rakyat.
2. Menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau korporasi yang dapat
merugikan keuangan atau perekonomian negara. Tipologi delik korupsi ini diancam
dengan hukuman penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun dan paling
sedikit 1 tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,- (Pasal 3 UU PTPK No. 20 Tahun 2001).
Dalam
konteks menyalahgunakan, perbuatan ini tentunya hanya dapat dilakukan oleh
pegawai negeri. Karena hanya pegawai negeri yang dapat menyalahgunakan jabatan,
kedudukan, kesempatan, serta sarana yang ada padanya untuk keuntungan
pribadinya. Secara konkret, definisi dari kata “menyalahgunakan” adalah adanya
hak atau keuasaan yang digunakan tidak sebagaimana mestinya seperti melakukan
proses pelaksanaan yang tidak sesuai dengan program atau penggunaan yang tidak
sesuai dengan peruntukkannya[8].
3. a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
b. memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
4.
Tipologi
tindak pidana korupsi di atas dijatuhi sanksi pidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah). (Pasal 5 UU PTPK No 20 Tahun 2001)
5.
Bagi
setiap orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim agar dapat
mempengaruhi putusannya pada suatu perkara yang dibebankan kepada hakim untuk
diadili dan bagi setiap orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada
advokat untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang berkenaan dengan suatu
perkara yang diputuskan oleh pengadilan. Pada jenis seperti ini, UU PTPK 2001
menjatuhi sanksi pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 7 tahun
atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- dan paling banyak Rp. 750.000.000. (Pasal
6 UU PTPK No 20 Tahun 2001)
6.
Pemborong atau ahli bangunan yang melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan negara atau melakukan perbuatan curang
terhadap barang-barang keperluan TNI pada saat perang. Perbuatan ini dijatuhi
sanksi pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh
juta rupiah) (Pasal 7 UU PTPK No 20 Tahun 2001)
7.
Pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang
lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Ancaman terhadap
perbuatan korupsi jenis ini adalah dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15(lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (Pasal 8 UU PTPK
No 20 Tahun 2001)
8.
Pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi. Tipologi pada delik korupsi seperti ini diancam dengan pidana dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (Pasal
9 UU PTPK No 20 Tahun 2001)
9.
Pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat
dipakai barang,
akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya;
atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar tersebut. (Pasal 10 UU PTPK No 20 Tahun 2001)
10.
Pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikankarena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atauyang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya. Tindak pidana korupsi jenis ini dijatuhi sanksi pidana yaitu
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
jutarupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah). (Pasal 11 UU PTPK No 20 Tahun 2001)
E. Tindak Pidana
Korupsi Menurut Hukum Islam
Tindak pidana
korupsi sejatinya adalah salah satu tindak pidana yang cukup tua usianya. Hal
ini dapat ditelusuri melalui sejarah klasik Islam yaitu pada masa Rasulullah
sebelum turunnya surat Ali Imran ayat 161. Saat itu, kaum muslimin kehilangan
sehelai kain wol berwarna merah pasca perang. Kain wol yang sebagai harta
rampasan perang itu pun diduga telah diambil sendiri oleh Rasulullah Saw. Untuk
menghindari keresahan kalangan muslim saat itu, Allah pun menurunkan surat Ali
Imran ayat 161 yang berbunyi[9]:
وَمَا
كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ
ٱلۡقِيَـٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ ڪُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا
كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
Artinya: “Tidak
mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali ‘Imran (3) : 161)
Tindak
pidana korupsi sangat identik dengan penyalahgunaan jabatan yang didefinisikan
sebagai perbuatan khianat dalam perspektif Islam. Karena jabatan yang telah
disandang oleh seseorang adalah sebuah kepercayaan dari rakyat yang telah
terlanjur menaruh harapan padanya. Atau jabatan yang langsung dibebankan atas
nama negara yang tentunya bertujuan untuk menjalankan berbagai program yang
bermuara kepada kesejahteraan rakyat. Terlebih lagi jika amanat itu menyentuh
pada ranah hukum seperti pegawai pada bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman,
dll yang berbasis kepada keadilan yang diinginkan oleh semua pihak. Amanat yang
telah diemban itulah yang tentunya wajib untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Allah swt berfirman dalam beberapa ayat mengenai keajiban menjalankan amanat,
yaitu:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَـٰنَـٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَـٰنَـٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal (8) : 27)
Amanat
tentunya adalah sebuah kepercayaan yang wajib untuk dipelihara dan disampaikan
kepada yang berhak menerimanya. Allah swt berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن حۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦۤۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرً۬ا
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن حۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦۤۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرً۬ا
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. an-Nisa
(4) : 58)
Ayat-ayat
tersebut menunjukkan adanya kewajiban menyampaikan amanat dan memelihara amanat
yang telah dibebankan kepada orang yang dipercayanya. Sehingga apabila
kewajiban yang tidak ditunaikan, tentunya terdapat keharaman dan hukuman yang
mengiringinya.
Seperti
beberapa jenis, tipologi atau etimologi mengenai korupsi yang telah disebutkan
di atas, maka salah satu dari tipologi itu adalah suap menyuap, yaitu perbuatan
dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang yang memiliki kekuasaan
agar dapat memengaruhinya atau memenuhi keinginannya. Al-Qur’an menjelaskan
mengenai keharaman melakukan suap atau korupsi dan juga sabda Rasulullah saw mengenai
pelaku suap menyuap, yaitu:
وَلَا
تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٲلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَـٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ
إِلَى ٱلۡحُڪَّامِ لِتَأۡڪُلُواْ فَرِيقً۬ا مِّنۡ أَمۡوَٲلِ ٱلنَّاسِ
بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah (2) : 188)
لعنة
الله عليه الرشى والمرتشى ( رواه احمد
وابو داود والترمذى وابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya : “Allah
melaknat orang yang menyuap dan memberi suap” (HR. Ahmad, Abu Daud,
Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar)
Tindak
pidana korupsi pun dikategorikan sebagai perbuatan penipuan (al-gasysy)
yang secara tegas disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa Allah mengharamkan surga
bagi orang-orang yang melakukan penipuan. Rasulullah saw bersabda:
“
Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata :aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“ seorang hamba yang dianugerahi jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu
rakyatnya, maka Allah menghrmakannya masuk surga.” (HR.
Bukhari dan Muslim)[10]
Dalam
hadis lain juga disabdakan mengenai tindak pidana korupsi yang termasuk dalam
kategori penipuan yaitu:
من
استعملناه على عمل فرزقناه رزقا فما اخذ بعد ذلك فهو غلول (رواه ابو داود والحاكم عن بريدة )
Artinya
: “ Barang siapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu aku
beri gajinya, maka sesuatu yng diambil di luar gajinya itu adalah penipuan
(haram).” (HR. Abu Daud, Hakim dari Buraidah)[11]
Kata
“ghulul” dalam teks hadis tersebut adalah penipuan, namun dalam sumber
lain diartikan bahwa “ghulul” adalah penggelapan yang berkaitan dengan
kas negara atau baitul mal[12]. Dalam al-Qur’an sendiri,
terdapat kata “ومن يغلل “ yang diartikan sebagai perbuatan berkhianat atas harta
rampasan perang. Hal ini mengingat
al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 161 yang berdasarkan suatu riwayat yaitu
terjadinya sangkaan bahwa Rasulullah telah menggelapkan sehelai kain wol yang
merupakan harta milik kaum muslimin yang diperoleh sebagai harta rampasan
perang.
Secara
umum, korupsi dalam hukum Islam lebih ditunjukkan sebagai tindakan kriminal
yang secara prinsip bertentangan dengan moral dan etika keagamaan, karena itu
tidak terdapat istilah yang tegas menyatakan istilah korupsi. Dengan demikian,
sanksi pidana atas tindak pidana korupsi adalah takzir, bentuk hukuman yang
diputuskan berdasarkan kebijakan lembaga yang berwenang dalam suatu masyarakat.[13]
Hadis-hadis
yang disebutkan di atas pun tidak secara tegas menyebutkan bentuk sanksi yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku korupsi. Nash-nash tersebut hanya menunjukkan
adanya keharaman atas perbuatan korupsi yang meliputi suap menyuap,
penyalahgunaan jabatan atau kewenangan, dsb.
Sehingga ayat dan hadis di atas hanya menunjukkan kepada sanksi
akhirat. Hal ini mengingat bahwa syariat Islam memang multidimensi, yaitu
meliputi dunia dan akhirat. Untuk menjerat para koruptor agar dapat merasakan
pedihnya sanksi pidana, maka dapat dijatuhi sanksi takzir sebagai alternatif
ketika sebuah kasus pidana tidak ditentukan secara tegas hukumannya oleh nash.
Bila dilihat lebih lanjut, tindak pidana korupsi agak mirip dengan
pencurian. Hal ini jika kita melihat bahwa pelaku mengambil dan memperkaya diri
sendiri dengan harta yang bukan haknya. Namun, delik pencurian sebagai jarimah
hudud, tidak bisa dianalogikan dengan suatu tindak pidana yang sejenis. Karena
tidak ada qiyas dalam masalah hudud. Karena hudud merupakan sebuah bentuk
hukuman yang telah baku mengenai konsepnya dalam al-Qur’an.
Kemudian terdapat perbedaan antara delik korupsi dan pencurian.
Dalam tindak pidana pencurian, harta sebagai objek curian berada di luar
kekuasaan pelaku dan tidak ada hubungan dengan kedudukan pelaku. Sedangkan pada
delik korupsi, harta sebagai objek dari perbuatan pidana, berada di bawah
kekuasaannya dan ada kaitannya degan kedudukan pelaku. Bahkan, mungkin saja
terdapat hak miliknya dalam harta yang dikorupsinya. Mengingat dapat dimungkinkan
pelaku memiliki saham dalam harta yang dikorupsinya.
Harta
yang berada di bawah kekuasaan pelaku dan saham yang masih dimungkinkan berada
dalam harta yang dikorupsi, menjadikan delik korupsi memiliki unsur syubhat
jika disebut sebagai tindak pidana pencurian.[14] Karena hudud identik
dengan perbuatan dengan ancaman yang besar, maka sanksi pidananya pun boleh
dikatakan sangat berat. Dalam hal pencurian hukumannya adalah potong tangan.
Sehingga apabila suatu jarimah hudud memiliki unsur syubhat, wajib untuk
dibatalkan. Karena khawatir akan terjadi kekeliruan ketika penjatuhan sanksi
pidana. Salah satu ungkapan dan sekaligus juga menjadi suatu kaidah dasar dalam
menjatuhkan sanksi pidana yaitu hukuman hudud harus dihindarkan dengan sebab
adanya unsur syubhat. Juga kaidah yang mengungkapkan bahwa lebih baik salah
dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum.
[1]
Andi Hamzah,Pemberantasan
Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,(Jakarta:Rajawali
Pers,2008),edisi revisi 4,hal 4
[2] IGM Nurdjana,Sistem Hukum
Pidana dan bahaya Laten Korupsi Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia
Hukum,(Yoygyakarta:Pustaka Pelajar,2010),cet I,hal 15
[3]
Abu Fida’ Abdur Rafi’,Terapi
Penyakit Korupsi dengan Takziyatun Nafs (Penyucian Jiwa),(Jakarta:Penerbit
Republika,2004),hal 3
[4]
Abu Fida’ Abdur Rafi’,Terapi
Penyakit Korupsi dengan Takziyatun Nafs (Penyucian Jiwa),hal 33
[5]
IGM Nurdjana,Sistem
Hukum Pidana dan bahaya Laten Korupsi Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan
Mafia Hukum,hal 26
[6]
Andi Hamzah,Pemberantasan
Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,hal 82
[7]
IGM Nurdjana,Sistem
Hukum Pidana dan bahaya Laten Korupsi Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan
Mafia Hukum,hal 138
[8]
IGM Nurdjana,Sistem
Hukum Pidana dan bahaya Laten Korupsi Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan
Mafia Hukum,hal 142
[9] Hj. Huzaimah
Tahido Yanggo,Masail Fiqhiyyah Kajian Hukum Islam Kontemporer,(Bandung:Penerbit
Angkasa,2005),hal 53
[10] Munawar Fuad
Noeh,Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi,(Jakarta: Zikhru’l
Hakim,1997),cet pertama,hal 90
[11]
Hj. Huzaimah
Tahido Yanggo,Masail Fiqhiyyah Kajian Hukum Islam Kontemporer,hal 56
[12]
Abu Fida’ Abdur Rafi’,Terapi
Penyakit Korupsi dengan Takziyatun Nafs,hal 2
[13]
Munawar Fuad
Noeh,Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi,hal 90
[14]
H.M Nurul Irfan,Korupsi
dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Amzah,2011),ed 1,cet 1,hal 135
4 komentar:
terima kasih, sangat bermanfaat
mantabb mas..
KORUPSI DALAM ISLAM
Good....
SELAMAT ANDA MENDAPATKAN UNDANGAN RESMI DARI SUMOQQ.ORG Kunjungi skrg Live Chat nya u/Info lbh Lanjut,Dan Dapatkan Jutaan Rupiah Dengan Cuma-Cuma BBM : D8ACD825
Posting Komentar