Pages

Hukum Waris dan Wasiat Dalam Hukum Islam


A.    Latar Belakang Masalah
Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia. Karena harta itu, manusia dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta itu dapat berwujud benda bergerak atau benda tidak bergerak. Cara memperoleh harta pun kian beragam. Dari cara yang halal seperti bekerja keras hingga orang yang menggunakan “jalan pintas”. Salah satu cara memperoleh harta itu adalah melalui jalur warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang diakibatkan meninggalnya seseorang. Tentunya cara ini pun harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Khususnya hukum Islam. Melalui berbagai syarat dan ketentuan yang di atur dalam hukum Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus keluarga atau anak dari salah satu orang tua yang meninggal dapat memperoleh harta peninggalan orang tuanya dengan tidak menzhalimi atau merugikan orang lain.

 A.    Pengertian Hukum Kewarisan Islam
Dalam literatur fiqh Islam, kewarisan (al-muwarits kata tunggalnya al-mirats ) lazim juga disebut dengan fara’idh, yaitu jamak dari kata faridhah diambil dari kata fardh yang bermakna “ ketentuan atau takdir “. Al-fardh dalam terminology syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.[1]
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya[2].
Didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 (a) menyatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

C.    Unsur-unsur Kewarisan Islam
Proses peralihan harta dalam hokum kewarisan Islam memiliki unsur-unsur sebagai berikut[3]:
a.       Pewaris. Di dalam literatur fikih disebut al-muwarits ialah seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.
b.      Harta warisan. Menurut hukum Islam adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya.
c.       Ahli waris dan haknya. Menurut istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Orang-orang tersebut pun harus memiliki keterkaitan dengan pewaris. Seperti adanya hubungan kekerabatan, perkawinan.
D.    Sebab-Sebab Seseorang Mendapatkan Warisan
Seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta warisan apabila terdapat salah satu sebab di bawah ini, yaitu[4]:
a.                Kekeluargaan.
b.               Perkawinan.
c.                Karena memerdekakan budak.
d.               Hubungan Islam. Orang yang meninggal dunia apabila tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk umat Islam dengan jalan pusaka.
E.     Sebab-Sebab Seseorang Tidak Berhak Mendapatkan Warisan
a.                Hamba. Seorang hamba tidak mendapat warisan dari semua keluarganya yang meninggal dunia selama ia masih berstatus hamba.
b.               Pembunuh. Seorang pembunuh tidak memperoleh warisan dari orang yang dibunuhnya. Rasulullah Saw bersabda:
لا يرث القاتل من المقتول شيا       رواه النسائ
“yang membunuh tidak mewarisi sesuatu pun dari yang dibunuhnya” (HR Nasai)
c.                Murtad. Orang yang murtad tidak mendapat warisan dari keluarganya yang masih beragama Islam.
d.               Orang non muslim. Orang non muslim tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang beragama Islam dan begitu pula sebaliknya, orang muslim tidak berhak menerima harta warisan dari orang non muslim (kafir).
Kompilasi Hukum Islam menyatakan beberapa sebab seseorang terhalang menjadi ahli waris. KHI Pasal 173:
a.       Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
F.     Furudhul Muqadharah ( ketentuan kadar bagi masing-masing ahli waris)
1.      Ketentuan bagian anak perempuan dalam KHI Pasal 176 yaitu:
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki adalah dua berbanding satu.

2.      Ketentuan bagi ayah dalam KHI Pasal 177 yaitu:
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
3.      Bagian ibu, dalam KHI mendapatkan bagian:
(1)         Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat seprtiga bagian.
(2)         Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
4.      Bagian duda dalam KHI Pasal 179 berhak mendapatkan bagian yaitu:
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meningalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.
5.      Bagian janda dalam KHI Pasal 180 mendapatkan bagian yaitu:
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris  meninggalkan anak, maka janda mendapatkan seperdelepan bagian.
6.      Bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu dalam KHI Pasal 181 mendapatkan bagian:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
7.       Bagian satu atau lebih saudara perempuan kandung atau seayah dalam KHI Pasal 182 mendapatkan bagian:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah maka saudara bagian laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
G.    Pewaris Pengganti
Perihal pewaris pengganti, KHI mengaturnya dalam Pasal 185 sebagai berikut:
(1)   Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.[5]
(2)   Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari ahli waris yang sederajat dan yang diganti.

H.    Pengertian Wasiat
Secara etimologi, wasiat memiliki beberapa arti, yaitu menjadikan, menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.[6]
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia bahwa yang disebutkan dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f).
I.       Rukun Wasiat
Rukun wasiat yaitu[7]:
a.       Ada orang yang berwasiat.
b.      Ada yang menerima wasiat.
c.       Sesuatu yang diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain.
d.      Lafaz (kalimat) wasiat.
 Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta dan tidak boleh lebih dari itu kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yag berwasiat itu meninggal.
Rasulullah Saw bersabda:
عن ابن عباس قال الناس غضوا من الثلث الى الربع فا ان رسول الله ص م قال الثلث والثلث كثير       رواه البخارى ومسلم
“ Dari Ibnu Abbas, berkata: alangkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga ke seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda: wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah kecuali mendapat persetujuan dari semua ahli waris.

Rasulullah Saw bersabda:
عن ابى اما مة قال سمعت النبى صلى الله عليه وسلم يقول ان الله قد اعطى كل ذى حق حقه فلا وصية لوارث      رواه الخمسة الا النساء
“dari Abu Amamah, ia berkata, “saya telah mendengar Nabi Saw bersabda. ‘sesungguhnya Allah menentukan hak-hak tiap ahli waris. Maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris” (HR lima orang ahli hadis, selain Nasa’i)
J.      Syarat-Syarat Orang yang Dapat Diserahi Wasiat
Syarat-syarat orang yang dapat diserahi wasiat adalah:
a.       Beragama Islam.
b.      Sudah baligh.
c.       Orang yang berakal sehat.
d.      Orang yang merdeka.
e.       Amanah (dapat dipercaya).
f.       Cakap dalam menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh orang yang berwasiat.
K.    Tata Cara Berwasiat
Di dalam KHI Pasal 195 ayat (1) dinyatakan bahwa
Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua oramg saksi, atau dihadapan notaris.



L.     Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan atas kerabat-kerabat terdekat yang tidak mendapat bagian pusaka (harta warisan)[8].
Al-jashshash dalam kitabnya yaitu Ahkamul Qur’an menjelaskan bahwa ayat tersebut telah jelas menunjukkan akan wajibnya wasiat untuk para keluarga yang tidak mendapat bagian harta warisan.
Di kalangan para ulama masih terdapat pro dan kontra mengenai wasiat wajibah ini. Mayoritas ahli tafsir dan jumhur ahli fiqh menjelaskan bahwa ayat mengenai wasiat wajibah tersebut telah di naskh dengan ayat-ayat mawarits. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa hukum wasiat wajibah tersebut masih berlaku meskipun telah di mansukh oleh ayat-ayat waris Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila tidak diadakan wasiat untuk para kerabat yang tidak mendapat bagian waris, maka hakim harus bertindak sebagai muwarits yaitu memberi sebagian dari harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan bagian harta warisan.
Wasiat wajibah pun secara eksplisit tercantum dalam KHI Pasal 209 ayat (1) yaitu
harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 yang tersebut di atas sedangkan terhadapn orang tua yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.

M.     Syarat-Syarat Bagi Orang yang Berhak Memperoleh Wasiat Wajibah
Syarat-syarat orang yang berhak atas wasiat wajibah yaitu[9]:
1.         Seseorang yang mendapatkan wasiat wajibah adalah bukan ahli waris. Jika ia menerima sejumlah harta warisan meskipun sedikit,maka tidak wajib wasiat untuknya.
2.         Orang yang meninggal seperti kakek atau nenek belum memberikan wasiat kepada anaknya. Harta tersebut mungkin telah diberikan kepada si anak, namun dengan jalan hibah.

  1. Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur sedemikian rupa tentang peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada anggota keluarga atau kerabatnya yang masih hidup atau disebut juga sebagai ahli waris. Agar seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta warisan, ia harus memiliki syarat; adanya hubungan pernikahan, keluarga, kekerabatan. Namun terlepas dari hak yang diperoleh para ahli waris, seseorang pun harus memiliki syarat seperti tidak terhijab atau terhalang untuk memperoleh harta warisan lantaran misalnya melakukan pembunuhan atau percobaan pembunuhan.
Dalam makalah ini pun disinggung mengenai wasiat. Secara pemahaman praktis, bahwa wasiat itu adalah permohonan oleh seseorang yang akan meninggal dunia, agar permohonan tersebut dapat dijalankan sesudah sang pewasiat meningal dunia.
Karena keterkaitan antara waris dan wasiat, maka dalam pembahasan wasiat terdapat bagian yang membicarakan wasiat wajibah. Yaitu wasiat yang wajib diberikan kepada ayah, ibu, dan kerabat terdekat khususnya yang tidak memperoleh bagian harta warisan. Demikian menurut QS Al-Baqarah: 180. Namun hal ini sejatinya masih terdapat pro dan kontra mengenai wasiat wajibah. Yaitu mengenai status ayat yang telah di naskh oleh ayat-ayat waris. Wasiat wajibah dapat diperoleh dengan syarat; seseorang bukan dari pihak ahli waris dan seseorang belum menerima wasiat dari orang tuanya.  


DAFTAR PUSTAKA

Manan,Abdul.2002.Pokok-Pokok  Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Syarifuddin,Amir.2004.Hukum Kewarisan Islam.Jakarta:Kencana
Rasjid,Sulaiman.1994.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algensindo
Ash-Shiddieqy,Hasbi.1967.Fiqhul Mawaris Hukum Warisan Dalam Syariat Islam.Jakarta:Bulan Bintang
Amin Summa,Muhammad.2005.Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Ali,Mohamad Daud.2002.Hukum Islam dan Peradilan Agama.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada





[1] Muhammad Amin Summa,Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2005)edisi revisi,hal 109
[2] Mohammad Daud Ali,Hukum Islam dan Peradilan Agama,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002)edisi 1,cet kedua,hal 120
[3] Amir Syarifuddin,Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta:Kencana,2004)cet 1,hal 204
[4] Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam,(Bandung:Sinar Baru Algensindo,1994)cet 27,hal 348
[5]  Yaitu pasal yang  menjelaskan tentang  sebab-sebab orang tidak berhak memperoleh hak waris
[6] Abdul Manan,Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2006) edisi 1,cetakan 1,hal 149
[7] Sulaiman Rasjid,fiqh Islam,hal,371
[8] Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam,(Jakarta:Bulan Bintang)hal 291
[9] Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris,hal 295

4 komentar:

Rahimi Razali mengatakan...

Terima kasih banyak kerana menjelaskan dalam bahasa yang mudah difahami oleh semua pembacanya.

Rahimi Razali mengatakan...

Terima kasih banyak kerana menjelaskan dalam bahasa yang mudah difahami oleh semua pembacanya.

Rahimi Razali mengatakan...

Terima kasih banyak kerana menjelaskan dalam bahasa yang mudah difahami oleh semua pembacanya.

Rahimi Razali mengatakan...

Terima kasih banyak kerana menjelaskan dalam bahasa yang mudah difahami oleh semua pembacanya.

Posting Komentar